Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

» » » » Muhammadiyah dan Tawasul


Muhammad Nasri Dini
Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Sukoharjo

Kenapa banyak kuburan orang-orang yang ditokohkan atau makam yang dikeramatkan ramai dikunjungi kaum muslimin? Di antaranya adalah karena banyak orang, termasuk di Indonesia, masih bersifat mistis dan magis daripada logis. Hal inilah yang menjadikan para pendongeng bisa bebas bercerita dengan kisah-kisah yang bagi orang-orang rasional, seperti Muhammadiyah, dianggap tidak masuk akal dan bahkan cenderung dapat dikategorikan sebagai takhayul dan khurafat.
Di antara motif orang-orang, kaum Muslimin tentu saja, datang ke kuburan orang shalih adalah untuk bertawasul. Dalam pandangan Muhammadiyah, praktik tawasul yang melibatkan orang yang sudah meninggal, seperti meminta pertolongan atau berdoa kepada penghuni makam, dapat mengarah pada perbuatan syirik, yang merupakan dosa besar dalam Islam.

Bagaimana Seharusnya?

Dalam Islam, tawasul merupakan metode berdoa di mana seseorang meminta kepada Allah SWT dengan memanfaatkan sebuah perantara atau wasilah. Dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, umat Islam mengenal konsep penting yang disebut tawasul. Istilah ini sebenarnya merupakan bagian dari pengamalan spiritual yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Namun, agar tidak terjebak dalam praktik yang menyimpang, pemahaman terhadap tawasul perlu ditelaah secara mendalam berdasarkan dalil yang sahih dan penjelasan para ulama.
Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah [5]: 35)
Ayat ini menjadi landasan utama yang menegaskan bahwa setiap muslim diperintahkan untuk mencari jalan mendekat kepada Allah SWT dengan cara yang sesuai syariat. Dalam praktiknya, tawasul dilakukan ketika seseorang berdoa dan memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menyertakan perantara yang benar, agar doanya lebih mustajab.

Tawasul Menurut Muhammadiyah

Tanya Jawab Agama Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (2018) menyebutkan bahwa tawasul yang diperbolehkan adalah: (1) Tawasul kepada Allah dengan asma’ dan sifat-Nya; (2) Tawasul kepada Allah dengan iman dan amal shalih yang dilakukan; (3) Tawasul kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya; (4) Tawasul kepada Allah dengan menampakkan kelemahan dan kebutuhan kepada-Nya; (5) Tawasul kepada Allah dengan doa orang-orang shalih yang masih hidup; (6) Tawasul kepada Allah dengan mengakui dosa-dosa.
Menurut Muhammadiyah, tawassul dengan selain rincian di atas tidak diperbolehkan. Jika dirangkum, setidaknya ada tiga bentuk tawasul yang bisa dilaksanakan oleh seorang muslim menurut pandangan Muhammadiyah.

Pertama, Tawasul dengan Asmaul Husna. Tawasul dengan nama dan sifat Allah SWT berarti seorang hamba berdoa dengan menyebut nama-nama Allah yang indah (Asmaul Husna) atau sifat-Nya yang sesuai dengan kebutuhan doa.
Allah SWT berfirman, “Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik). Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)
Dalam praktiknya, seorang muslim dianjurkan menyebut nama Allah SWT yang relevan dengan doa yang sedang dipanjatkan atau sesuatu yang sedang dia hajatkan, misalnya “Ya Razzaq” untuk memohon rezeki, atau “Ya Ghaffar” untuk meminta ampunan. Dengan demikian, doa menjadi lebih bermakna karena sesuai dengan kebesaran Allah SWT yang sedang dipuji.

Kedua, Tawasul dengan Amal Shalih. Bentuk kedua adalah bertawasul dengan amal shalih pribadi, yaitu menyebutkan amal kebaikan yang pernah dilakukan dengan ikhlas, lalu menjadikannya sebagai perantara doa agar dikabulkan oleh Allah SWT.
Dalil yang paling masyhur dalam hal ini adalah hadis panjang dari Rasulullah SAW tentang tiga orang yang terjebak di dalam gua. Mereka berdoa kepada Allah SWT dengan menyebutkan masing-masing amal shalih yang pernah dilakukan, hingga akhirnya Allah SWT menolong mereka dengan memindahkan batu besar yang menutup gua.
Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa bermalam di suatu gua, lalu mereka memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung dan menutup gua itu. Mereka berkata, ‘Tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari batu besar ini kecuali kita berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amalan baik kita.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah nyata dari Rasulullah SAW ini dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas dapat menjadi wasilah agar doa lebih mustajab. Amalan shalih khusus yang mungkin saja hanya diketahui oleh orang yang melakukan dan Allah SWT semata, sehingga terjaga dari niat yang tidak benar.

Ketiga, Tawasul dengan Doa Orang Shalih yang Masih Hidup. Bentuk ketiga adalah memohon doa dari orang shalih yang masih hidup agar ia mendoakan kebaikan bagi kita. Hal ini dibolehkan karena doa seorang Muslim untuk saudaranya adalah doa yang mulia dan mudah dikabulkan.
Hal ini seperti dicontohkan oleh ‘Umar bin Khattab RA yang pernah meminta doa kepada Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib RA, paman Nabi SAW, setelah wafatnya Rasulullah SAW, “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari)
Di zaman ini, boleh seorang muslim meminta doa dari ulama, ustadz, atau kiai untuk keberhasilan suatu hajat. Namun, meminta doa dari orang yang sudah meninggal, termasuk di makam wali atau ulama, menurut Muhammadiyah tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan ajaran tauhid.

Larangan Menjadikan Kuburan sebagai Wasilah

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam Tanya Jawab Agama yang disidangkan pada hari Jum’at, 18 Rabiul Akhir 1434 H / 1 Maret 2013, pernah menerangkan bahwa dilarang meminta-minta kepada ahli kubur dan menjadikannya wasilah kepada Allah SWT. Satu hal yang menjadi pantangan ketika berziarah kubur, adalah meminta-minta kepada ahli kubur dan menjadikan mereka perantara kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Janganlah engkau sembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberi manfaat kepadamu dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu, sebab jika engkau lakukan (yang demikian itu), sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim.” (QS. Yunus [10]: 106)
Allah SWT juga menegaskan dalam firman-Nya yang lain, “Orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, kecuali (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)
Ayat ini menjelaskan bahwa siapa saja yang beralasan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui perantara yang tidak dibenarkan syariat, termasuk ahli kubur, hakikatnya telah melakukan perbuatan syirik.
Sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang, banyak orang mengunjungi kuburan orang-orang tertentu, misalnya para wali. Kegiatan tersebut dapat digolongkan kepada perbuatan yang dilarang karena orientasi tujuannya sudah bergeser, bukan lagi untuk mendoakan dan bermuhasabah diri, tetapi lebih kepada meminta-minta.
Kewajiban seorang muslim terhadap orang lain yang sudah meninggal adalah mendoakan, bukan malah meminta pertolongan, karena hal itu mustahil. Para dai dan mubaligh Muhammadiyah sering memperingatkan bahwa praktik semacam ini, meskipun tampak sederhana, dapat mengarah pada syirik besar (syirkul akbar), yang membahayakan akidah seorang muslim.
Padahal, Rasulullah SAW tidak pernah mengkhususkan kuburan tertentu ketika beliau berziarah. Beliau menziarahi kuburan untuk mendoakan dan mengingat kematian, bukan menjadikan ahli kubur sebagai wasilah.

Penutup

Dengan memahami konsep tawasul secara benar, seseorang tidak hanya memperbaiki kualitas hubungannya dengan Allah SWT, tetapi juga memastikan bahwa ibadahnya tidak menyimpang dari jalur syariat. Maka, ketika kita berdoa dan bertawasul, marilah kita perhatikan dengan seksama. Jika semua itu sesuai dengan tuntunan Islam, insya Allah doa yang dipanjatkan akan sampai kepada-Nya dan dikabulkan oleh-Nya.
Konsep tawassul yang dipahami oleh Muhammadiyah menjelaskan bahwa tawassul yang disyariatkan meliputi: Pertama, tawassul dengan nama dan sifat Allah. Yaitu berdoa dengan menyebut nama dan sifat Allah SWT yang sesuai dengan permohonan; Kedua, tawassul dengan amal shalih. Yaitu memohon kepada Allah SWT dengan menyebutkan amal shalih pribadi yang pernah dilakukan; dan Ketiga, tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup. Meminta orang shalih yang masih hidup untuk mendoakan kebaikan bagi kita.
Muhammadiyah menolak tawassul yang tidak memiliki dasar dalam syariat, seperti tawassul dengan orang yang telah meninggal atau dengan zat makhluk. Karena semua bentuk ibadah harus berdasarkan dalil yang sahih dan sesuai dengan praktik generasi salafush shalih. Pendekatan ini merefleksikan pandangan Muhammadiyah tentang kesederhanaan dan keaslian dalam praktik ibadah.
Tawasul bukan sekadar ritual, tetapi sebuah jalan spiritual yang harus ditempuh dengan ilmu, iman, dan keikhlasan. Tawasul hanya akan bermakna ketika dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.


*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Rabiul Awal 1447 H / September 2025 M

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply