Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

Meneladani Bapak Tauhid, Ibrahim ‘alaihis salam

 

Meneladani Bapak Tauhid, Ibrahim ‘alaihis salam

Oleh: KH. Sholahuddin Sirizar, Lc, M.A

Direktur Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo

 

MUQADIMAH

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah salah satu nabi dan rasul yang paling mulia. Nama beliau disebut Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an sebanyak 69 kali. Tersebar dalam 26 surat; 17 surat-surat Makkiyah dan 8 surat-surat Madaniyah. Terbanyak disebut dalam surat Al-Baqarah (15 kali), kedua dalam surat Ali Imran (7 kali), ketiga dalam surat An-Nisa’, Al-An’am, Hud dan Al-Anbiya’ masing-masing 4 kali, selebihnya antara tiga, dua dan satu. Bahkan ada satu surat dalam Al-Qur’an yang dinamai dengan nama Ibrahim ‘alaihis salam sendiri, yaitu surat ke-14.

Surat Ibrahim diturunkan di Makkah sebelum Hijrah, terdiri dari 52 ayat. Meskipun dinamai dengan Ibrahim, surat ini tidak sepenuhnya berisi tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Bahkan nama Nabi Ibrahim ‘alaihis salam hanya disebut satu kali, yaitu pada ayat 35, mengawali serangkaian doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berlanjut sampai ayat 41. Berikut ayat pertama dari tujuh ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (Q.S. Ibrahim [14]: 35)

 

NASAB NABI IBRAHIM ‘alaihis salam

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam berasal dari Haraan (sekarang tempat itu terletak di Propinsi Nashiriyah, Iraq), kemudian pindah ke Babilonia. Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang nama bapak Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Menurut Ibnu Sa’ad rahimahullah, namanya Tarah bin Nahur bin Sarukh bin Arghuwa bin Faligh bin ‘Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh. Sedang menurut Ibnu Jarir At Tabari rahimahullah, namanya Azar. Sebagaimana disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." (Q.S. Al An’am [6]:74)

 

KETAATAN NABI IBRAHIM ‘alaihis salam

Nabi Ibrahim ‘alaihis salam telah diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala semenjak beliau masih kecil. Sehingga meskipun orangtua dan lingkungannya musyrik tidak sedikitpun berpengaruh kepada keyakinannya dalam mentauhidkan Tuhan pencipta alam semesta. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya.” (Q.S. Al Anbiya’ [21] : 51)

Menyikapi kemusyrikan yang menyebar di masyarakatnya, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan tegas menolak kemusyrikan yang dilakukan oleh kaumnya tersebut. Keyakinan dan tindakan mereka mempertuhankan bintang-bintang, bulan dan matahari, bahkan membuat berhala-berhala untuk disembah adalah kemusyrikan yang wajib ditinggalkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan ketegasan sikap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam terhadap kemusyrikan tersebut dalam ayat berikut:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-An’am [6] : 79)

Hari Raya ‘Idul Adha tidak bisa dilepaskan dari sejarah ketaatan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah figur pemimpin yang senantiasa taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap saat. Karena ketaatannnya yang terus menerus itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan ummatun qanitan. Qanit artinya dawamuth tha’ah, yakni selalu istiqamah di dalam ketaatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (Q.S. An Nahl [16] : 120)

Bermodalkan dengan husnudhan billah (berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) apapun perintah-Nya selalu ditaati sekalipun dangkalnya akal manusia tidak dapat menjangkaunya.

Diantara sekian banyak perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dikerjakan dengan ketaatan, ada dua hal yang sangat menakjubkan, yaitu:

1. Meninggalkan istri dan anaknya diantara bukit Shafa dan Marwa yang tandus lagi kering kerontang. Peristiwa ini dikisahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Q.S. Ibrahim [14]: 37)

Istri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam (Hajar) dan anaknya (Ismail ‘alaihis salam) yang ditinggalkan di tanah tandus kenyataanya juga tidak terlantar dan bahkan tertolong. Bahkan kini peristiwa Hajar yang naik turun bukit Shafa dan Marwa untuk mencari air minum anaknya tersebut justru diperagakan jutaan jamaah haji dalam proses sa’i.

Selain sa’i masih banyak lagi prosesi manasik haji yang merupakan peragaan simbolik meniti jejak Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Seperti meminum air zam-zam, shalat di belakang maqam Ibrahim ‘alaihis salam, berdoa atau shalat di hijr Ismail.

2. Membenarkan mimpi nubuwwah agar menyembelih putranya (Ismail ‘alaihis salam). Kisah tersebut dijelaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Q.S. Ash Shaffat [37] : 102)

Kemuliaan dunia dan akhirat akhirnya diperoleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam karena ketaatannya pada agama tanpa membantah. Termasuk peristiwa penyembelihan Ismail ‘alaihis salam (yang ternyata diganti Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyembelih hewan ternak) ini juga diabadikan Allah ‘Azza wa Jalla dalam syariat Qurban yang dilaksanakan kaum muslimin seluruh dunia setiap tahunnya. Melempar jumrah dalam prosesi haji juga keteladanan yang diambil dari peristiwa penyembelihan Ismail ‘alaihis salam yang saat itu digoda oleh syetan agar melawan perintah ayahnya untuk disembelih.


PELAJARAN DARI IBRAHIM ‘alaihis salam

Dari uraian yang telah lalu, kita para generasi penerus Islam ini seharusnya dapat mengambil pelajaran dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Diantaranya sebagai berikut: (1) Memiliki tauhid yang lurus dan jauh dari syirik. Karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam adalah “Bapak Tauhid” kita; (2) Selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sanggup menjalankan semua perintahnya apapun resikonya; (3) Selalu beramar makruf nahi munkar. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sangat intens dalam bernahi munkar sehingga menghadapi berbagai macam bahaya termasuk dibakar hidup-hidup oleh raja yang zalim; (4) Selalu memiliki kemauan yang keras, pantang menyerah dan tentu saja dengan disertai kesabaran yang tinggi untuk mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala; (5) Selalu bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala meskipun meninggalkan istri dan putranya di padang tandus. Tapi karena semuanya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka semuanya berakhir dengan khusnul khatimah; dan (6) Dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik di dunia maupun di akhirat karena ketaatannya yang mutlak tanpa mengenal batas kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam bish shawab

Kisah Raja Zalim yang Disembuhkan dan Raja Bijaksana yang Diwafatkan


KISAH RAJA ZALIM DAN RAJA BIJAKSANA

Rasulullah pada suatu waktu pernah berkisah. Pada zaman sebelum kalian, pernah ada seorang raja yang amat zalim. Hampir setiap orang pernah merasakan kezalimannya itu. Pada suatu ketika, raja zalim ini tertimpa penyakit yang sangat berat. Maka seluruh tabib yang ada pada kerajaan itu dikumpulkan. Di bawah ancaman pedang, mereka disuruh untuk menyembuhkannya. Namun sayangnya, tidak ada satu tabib pun yang mampu menyembuhkannya.

Hingga akhirnya ada seorang rahib yang mengatakan bahwa penyakit sang raja itu hanya dapat disembuhkan dengan memakan sejenis ikan tertentu, yang sayangnya saat ini bukanlah musimnya ikan itu muncul ke permukaan. Betapa gembiranya raja mendengar kabar ini. Meskipun raja menyadari bahwa saat ini bukanlah musim ikan itu muncul ke permukaan, namun disuruhnya juga semua orang untuk mencari ikan itu. Aneh bin ajaib... walaupun belum musimnya, ternyata ikan itu sangatlah mudah ditemukan. Sehingga akhirnya sembuhlah raja itu dari penyakitnya.

Di lain waktu dan tempat, ada seorang raja yang amat terkenal kebijakannya. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya. Pada suatu ketika, raja yang bijaksana itu jatuh sakit. Dan ternyata kesimpulan para tabib sama, yaitu obatnya adalah sejenis ikan tertentu yang saat ini sangat banyak terdapat di permukaan laut. Karena itu mereka sangat optimis rajanya akan segera pulih kembali.

Tapi apa yang terjadi? Ikan yang seharusnya banyak dijumpai di permukaan laut itu, tidak ada satu pun yang nampak..! Walaupun pihak kerajaan telah mengirimkan para ahli selamnya, tetap saja ikan itu tidak berhasil diketemukan. Sehingga akhirnya raja yang bijaksana itu pun mangkat...

Dikisahkan para malaikat pun kebingungan dengan kejadian itu. Akhirnya mereka menghadap Tuhan dan bertanya, “Ya Tuhan kami, apa sebabnya Engkau menggiring ikan-ikan itu ke permukaan sehingga raja yang zalim itu selamat; sementara pada waktu raja yang bijaksana itu sakit, Engkau menyembunyikan ikan-ikan itu ke dasar laut sehingga akhirnya raja yang baik itu meninggal?”

Tuhan pun berfirman, “Wahai para malaikat-Ku, sesungguhnya raja yang zalim itu pernah berbuat suatu kebaikan. Karena itu Aku balas kebaikannya itu, sehingga pada waktu dia datang menghadap-Ku, tidak ada lagi kebaikan sedikit pun yang dibawanya. Dan Aku akan tempatkan ia pada neraka yang paling bawah!

Sementara raja yang baik itu pernah berbuat salah kepada-Ku, karena itu Aku hukum dia dengan menyembunyikan ikan-ikan itu, sehingga nanti dia akan datang menghadap-Ku dengan seluruh kebaikannya tanpa ada sedikit pun dosa padanya, karena hukuman atas dosanya telah Kutunaikan seluruhnya di dunia!”

Kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari kisah ini.

Pelajaran pertama adalah: Ada kesalahan yang hukumannya langsung ditunaikan Allah di dunia ini juga; sehingga dengan demikian di akhirat nanti dosa itu tidak diperhitungkan-Nya lagi. Keyakinan hal ini dapat menguatkan iman kita bila sedang tertimpa musibah.

Pelajaran kedua adalah: Bila kita tidak pernah tertimpa musibah, jangan terlena. Jangan-jangan Allah ‘menghabiskan’ tabungan kebaikan kita. Keyakinan akan hal ini dapat menjaga kita untuk tidak terbuai dengan lezatnya kenikmatan duniawi sehingga melupakan urusan ukhrowi.

Pelajaran ketiga adalah: Musibah yang menimpa seseorang belum tentu karena orang itu telah berbuat kekeliruan. Keyakinan ini akan dapat mencegah kita untuk tidak berprasangka buruk menyalahkannya, justru yang timbul adalah keinginan untuk membantu meringankan penderitaannya.

Pelajaran keempat adalah: Siapa yang tahu maksud Allah? Walaupun manusia mampu mencari beberapa hikmah di balik ketentuan Allah, namun manusia tidak dapat mengetahui semua hikmah di baliknya. Jadi, berprasangka baiklah kepada Allah.

Dikutip dari kitab: Min Bada’i al-Qashash al-Nabawi al-Sahih, karya Mhd. Jamil Zeno.

Sumber: Thaib, H. M. Hasballah, & Hasballah, H. Zamakhsyari. (2012). Kumpulan Kisah Teladan. Medan: Perdana Publishing.