Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

Kunci Pembuka Pintu Surga


Oleh: H. Nafsir Aspan, S.Ag, M.Si

Anggota Majelis Tabligh PDM Sukoharjo

 

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Tugas utama kita dalam hidup di dunia ini, mengabdi kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya:

 

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat [51]: 56)

 

Dan salah satu bentuk pengabdian seorang hamba yang sangat krusial, yang sangat penting, yang sangat berpengaruh pada amalan-amalan lain yang sekaligus merupakan amalan pertama yang akan dihisab atau dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT adalah shalat. Rasulullah SAW bersabda:

 

إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

“Sesungguhnya amalan seorang hamba yang akan dihisab pertama kali pada hari kiamat adalah amalan shalatnya. Jika shalatnya benar maka dia akan beruntung dan berhasil, jika shalatnya itu rusak maka ia akan merugi.” (H.R Tirmidzi dan An Nasai)

 

Rasulullah SAW juga memberikan suatu ancaman bagi manusia yang tidak mau menjalankan shalat dan kelak di akhirat akan di masukkan ke neraka Saqar. Allah SWT berfirman:

 

مَا سَلَـكَكُم فِى سَقَرَ‏  قَالُوا لَم نَكُ مِنَ المُصَلِّينَ

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al Mudatsir [74]: 42-43)

 

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam salah satu kitabnya yang berjudul Alwaabil Al Shoyyib menyebutkan ada 5 tingkatan orang yang melaksanakan shalat. Kelima tingkatan itu bagaikan anak tangga yang dimulai dari paling rendah sampai yang paling sempurna.

 

Pertama, orang yang shalat diiqab (diadzab)

Tangga yang pertama adalah orang yang mendzalimi diri sendiri. Ia melakukan shalat dengan ala kadarnya sekedar untuk melepaskan kewajiban. Ia tidak menyempurnakan wudhunya, tidak memelihara waktu-waktunya, syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya. Sebagaimana firman Allah SWT:

 

 فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Ma’un [107]: 4-5)

 

Kedua, orang yang shalat dihisab (ditimbang)

Anak tangga kedua adalah orang yang menjaga waktu shalat, wudhu dan syarat-syarat dan rukun-rukun tetapi tak berdaya menghadapi bisikan (was-was) setan dan pikirannya masih di luar salat. Orang yang berada pada tangga ini lebih baik dari yang pertama karena dia sudah punya kesadaran tentang bagaimana tata cara shalat yang baik, berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Tetapi objek perhatiannya barus sebatas penampilan luar shalatnya belum bisa menghadirkan kekhusyukan shalatnya.

 

Ketiga, orang yang shalat mendapat maghfirah (ampunan)

Anak tangga yang ketiga adalah orang yang menjaga syarat-syaratnya, rukun-rukunnya tetapi ia sibuk melawan bisikan setan dan pikiran dalam shalatnya. Ada dua pekerjaan dilakukan sekaligus satu waktu yaitu shalat dan melawan setan. Anak tangga ketiga ini tentu lebih baik dibandingkan anak tangga kedua. Karena ia mulai memiliki kesadaran tentang hakikat shalat. Akan tetapi yang namanya setan juga berusaha keras untuk melalaikan shalatnya. Allah SWT berfirman:

 

اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّاۗ اِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَهٗ لِيَكُوْنُوْا مِنْ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِۗ 

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir [35]: 6)

 

Ibnu Katsir menjelaskan berkenaan dengan ayat ini: “setan adalah musuh yang menantang kalian dengan mengumumkan permusuhan. Oleh karena itu janganlah kalian turuti bujuk rayunya.”

 

Keempat, orang yang shalat mendapat jaza’ minallah (pahala dari Allah)

Anak tangga keempat adalah orang yang menyempurnakan syarat dan rukunnya. Dia sadar bahwa kewajibannya adalah menyempurnakan semua itu. Ketika shalat hatinya hadir bersama jasadnya menghadap Allah SWT. Pada saat itu ia merasa diawasi atau dilihat Allah SWT. Orang ini mulai bisa merasa lega dalam shalatnya. Usaha yang terus dilakukannya untuk mengusir setan mulai berhasil. Setan tidak lagi punya kemampuan menggodanya. Setan mulai sadar dengan komitmennya orang yang salat itu ia tidak mampu menggoda hamba Allah SWT yang ikhlas.

 

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغوِيَنَّهُم اَجمَعِينَ‏ اِلَّا عِبَادَكَ مِنهُمُ المُخلَصِينَ‏

Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (QS. Shaad [38]: 82-83)

 

Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufik untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah SWT.

 

Kelima, orang yang shalatnya sudah menjadi Qurrata ‘ain (Penyejuk pandangan mata)

Anak tangga kelima adalah orang yang menegakkan shalat dengan sempurna dan hatinya hadir menghadap Allah SWT. Ia sadar sedang berhadapan dengan Allah SWT. Dia seolah-olah melihat Allah SWT. Shalat baginya bukan sebuah beban, tetapi sudah menjadi hiburan yang menghilangkan duka lara. Inilah puncak ihsan seorang manusia dalam shalatnya. Rasulullah bersabda dalam hadits Jibril:

 

قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Apakah yang dimaksud ihsan? Nabi menjawab : engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau dapat melihatnya, jika engkau tidak melihatnya sesungguhnya Allah melihat engkau.” (HR. Al Bukhari)

 

Dari gambaran nyata dari tipe shalat ini adalah Rasulullah sebagaimana sabdanya:

 

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ

“Allah menjadikan kesenanganku ada dalam shalat.” (HR. An Nasai dan Ahmad)

 

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Setelah kita mengetahui lima tingkatan di atas sekarang kita lihat berada pada posisi manakah kita? Tentu orang yang cerdas senantiasa berusaha hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari besok harus lebih baik dari hari ini. Dalam arti hendaknya kita senantiasa memperbaiki shalat kita jangan sampai kita tergolong pada orang yang meremehkan shalat yakni yang berada pada anak tangga pertama. Termasuk perbuatan meremehkan shalat adalah:

 

1. Orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya

2. Orang yang melaksanakan shalat dengan tidak menjaga kekhusyukan

3. Orang yang tidak melaksanakan shalat wajib tidak berjama’ah di masjid.

 

Sebab orang yang meremehkan shalat, orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya, orang yang melaksanakan shalat dengan tidak menjaga kekhusyu’an serta orang yang tidak melaksanakan shalat wajib dengan berjama’ah di masjid, ia tidak akan serius menjalankan tugas hidup atau menjalani misi hidup yang sesungguhnya. Bagi mereka hidup hanya berkisar antara makan, tidur, mencari makan dan selebihnya berpindah dari satu hiburan ke hiburan yang lain, dari satu kesenangan menuju kesenangan yang lain seakan untuk itulah mereka diciptakan.

 

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Suami yang meremehkan shalat, suami yang malas ke masjid, suami yang mengerjakan shalat dengan QOOMUU KUSAALAA, mereka yang melakukan dengan malas, berdiri dengan malas, maka dia akan meremehkan amalan yang lain, akan meremehkan istri dan anak-anaknya.

 

Seorang istri yang meremehkan shalat, dia akan meremehkan suaminya, dia akan meremehkan Allah, dia akan meremehkan Rasulullah, dia akan meremehkan jihad, dia akan meremehkan iqomatuddin, meremehkan jilbab, meremehkan pendidikan anak-anaknya.

 

Anak-anak yang meremehkan shalat, anak-anak yang mengabaikan shalat, tidak mungkin dia akan menjadi anak-anak yang birrul walidain, berbakti pada orangtuanya, cinta kepada bapaknya, cinta kepada ibunya, karena shalat telah ia remehkan, Rasulullah telah ia remehkan, perintah Allah telah ia abaikan, ia tidak bisa berbakti kepada orangtua, tidak akan menjadi anak yang WABIL WAALIDAINI IHSAANA.

 

Guru yang meremehkan shalat, akan menjadi guru yang mengabaikan nilai-nilai moral dalam pendidikan sehingga moral anak didiknya tidak terbangun.

 

Pejabat yang meremehkan shalat akan menjadi pejabat yang dzolim, menguras harta rakyat dengan dalih pembangunan. Menumpuk harta untuk modal melanggengkan kekuasaan.

 

Dan siapapun yang meremehkan shalat, baik pemudi maupun pemuda, bapak-bapak atau ibu-ibu, kakek-kakek atau nenek-nenek baik dia seorang petani, pedagang, pengusaha, nelayan, karyawan, pegawai dan lain sebagainya baik dari kalangan rakyat jelata maupun pejabat Negara yang meremehka shalat akan mudah melanggar aturan Allah, meremehkan ajaran Rasulullah, akan meremehkan ibadah-ibadah yang lain, dan mudah melakukan kedzoliman.

 

Hari ini kedzoliman dengan aneka bentuknya terpampang di mana-mana, keadilan begitu sulit ditegakkan, kejujuran menjadi sesuatu yang langka akibat kepiawaian dalam memutar balikkan fakta. Dan korbannya adalah umat islam, yang menjadi kambing hitam adalah umat islam, yang menjadi sasaran fitnah adalah umat islam. Bukti nyata dapat kita lihat dengan jelas baik di dalam negeri maupun di belahan bumi yang lain.

 

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Di dunia ini mungkin kita bisa dapatkan harta tanpa kesengajaan, mungkin kita bisa dapatkan pekerjaan secara kebetulan atau meraih jabatan tanpa perencanaan akan tetapi kita tidak bisa mendapatkan surga atau jannah secara kebetulan. Jannah tidak pula bisa didapat dengan undian akan tetapi harus ada unsur kesengajaan. Sengaja untuk mencari jalan, Sengaja untuk menempuh perjalanan, serta harus gigih berjuang dan kunci pembukanya adalah shalat.

 

Maasyiral muslimin rahimakumullah

Kini semuanya terpulang kepada kita, jadi hamba Allah yang taat atau ahli maksiat. Memelihara shalat atau meremehkannya. Yang pasti semua akan ada balasannya. Wallahul musta’an

Dahsyatnya Do’a di Bulan Ramadhan


Oleh: Dwi Prayitno, S.Pd.I

Ketua Majelis Tabligh PCM Bendosari

 

Do’a merupakan intinya ibadah. Berbagai aktifitas ibadah kita kontennya semua adalah do’a. Do’a dalam Islam adalah sikap berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Pengertian doa ini dituturkan Imam Hafizh Ibnu Hajar dari Imam At-Thaibi dalam kitab Fathul Bari, memperlihatkan sikap berserah diri dan merasa membutuhkan Allah subhanahu wata’ala, karena tidak dianjurkan ibadah melainkan untuk berserah diri dan tunduk kepada Pencipta serta merasa butuh kepada Allah subhanahu wata’ala.

Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادۡعُوۡنِىۡۤ اَسۡتَجِبۡ لَـكُمۡؕ اِنَّ الَّذِيۡنَ يَسۡتَكۡبِرُوۡنَ عَنۡ عِبَادَتِىۡ سَيَدۡخُلُوۡنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيۡنَ

Artinya

:

“Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina."

 

Ayat di atas menjelaskan bahwa berdo’a merupakan perintah Allah, dengan kesadaran bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah, hina, rendah dan tak berdaya di hadapan Allah. Tidaklah pantas bagi manusia merasa sombong dan berlepas diri dari ketergantungan kepada Allah ‘azza wa jalla. Kita sangat bergantung kepada Allah, baik bergantung fisik maupun non fisik kita.

Ramadhan adalah bulan penuh berkah dan ampunan. Seluruh waktu di bulan Ramadhan adalah pengampunan dosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya

:

“Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap perhitungan (pahala), akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Muttafaqun ‘Alaih)

 

Hadits di atas memberikan gambaran bahwa puasa itu adalah do’a, dengan penuh harapan bahwa dosa kita yang telah lalu akan diampuni, harapan bahwa kesalahan-kesalahan kecil kita diampuni oleh Allah, sehingga di akhir ramadhan kita seperti bayi yang baru lahir yang bersih dari dosa.

Diantara dahsyatnya bulan Ramadhan untuk berdoa adalah bahwa do’a di Bulan Ramadhan pasti terkabul, bahwa do’a-do’a yang kita panjatkan saat kita berpuasa di bulan Ramadhan tidak akan tertolak.

 

 

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Artinya

:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)

 

Ayat “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku”. Yang dituju dalam bertanya yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud hamba-hamba-Ku adalah orang-orang yang beriman. “Bertanya tentang Aku”, yaitu apakah Allah itu dekat ataukah jauh. Maka katakanlah Allah itu dekat dengan ilmu-Nya, mendengar setiap doa hamba-Nya dan Allah sangat mudah mengabulkan do’a-do’a.

Berdasarkan ayat di atas bahwa do’a seorang mu’min yang dipanjatkan pasti akan dikabulkan, karena Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya ketika mereka mendekat kepada-Nya. Apalagi di bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah dan ampunan, bulan yang seluruh waktu puasanya adalah pengkabulan do’a.

Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِلّهِ فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ

Artinya

:

”Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia memanjatkan do’a, akan dikabulkan.” (HR. Al Bazaar. Al Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10: 14 mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-. Lihat Jami’ul Ahadits, 9: 224)

 

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

 

Artinya

:

“Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1797)

 

Tiga waktu terbaik untuk berdo’a di bulan Ramadhan :

1.        Waktu Sahur

Keberkahan waktu sahur dapat kita lihat dari hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Artinya

:

“Rabb kita tabaroka wa ta’ala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia berfirman, “Siapa saja yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758).

 

Imam Nawawi berkata, “Pada waktu itu adalah waktu tersebarnya rahmat, banyak permintaan yang diberi dan dikabulkan, dan juga nikmat semakin sempurna kala itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 36)

Ibnu Hajar juga menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Doa dan istighfar di waktu sahur adalah  diijabahi (dikabulkan).” (Fathul Bari, 3: 32).

 

2.        Ketika sedang berpuasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

Artinya

:

“Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.” (HR. Ahmad 2: 305. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan berbagai jalan dan penguatnya)

 

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan orang yang berpuasa untuk memperbanyak do’a demi urusan akhirat dan dunianya, juga ia boleh berdo’a untuk hajat yang ia inginkan, begitu pula jangan lupakan do’a kebaikan untuk kaum muslimin secara umum.” (Al-Majmu’, 6: 273)

 

3.        Ketika berbuka puasa

Hadits pada point 2 di atas sudah menyatakan bahwa termasuk do’a yang ijabah adalah saat berpuasa hingga ia berbuka, artinya saat berbuka puasa pun do’a-do’a kita akan mudah diijabah oleh Allah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa asalnya waktu mustajab adalah sebelum berbuka puasa (menjelang berbuka) karena inilah keadaan seorang hamba masih berpuasa, badan mungkin ada sedikit lemah dan butuh makanan serta butuh dengan Rabb-nya. Akan tetapi, ada hadits membaca doa buka puasa setelah berbuka, sehingga bisa saja doa tersebut adalah setelah berbuka. Beliau berkata, “Doa (yang mustajab) adalah sebelum/menjelang berbuka yaitu ketika akan terbenam matahari. Karena saat itu terkumpul (sebab-sebab mustajabnya doa) berupa hati yang tunduk dan perasaan rendah (di hadapan Rabb) karena ia berpuasa. Semua sebab ini adalah penyebab doa dikabulkan. Adapun setelah berbuka puasa, badan sudah segar lagi dan nyaman. Bisa jadi ia lalai (akan sebab-sebab mustajab). Akan tetapi terdapat hadits yang seandainya shahih maka doa mustajab itu setelah buka puasa yaitu doa: Dzahabaz dzama’ wabtallail ‘uruq wa tsabatal ajru insyaallah. Maka doa mustajab itu setelah berbuka.”[ Liqa-usy Syahriy no. 8 syaikh Al-‘Utsaimin).

 

Do’a adalah senjatanya orang beriman. Momentum bulan Ramadhan tidak boleh terlewatkan untuk memanjatkan do’a-do’a kepada Allah subhanahu wata’ala, karena Allah memberikan lebih banyak waktu yang mustajab untuk berdo’a, yang tentu berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Mintakan hajat-hajat akhirat dan dunia kita kepada Allah, karena bulan Ramadhan saat yang dahsyat untuk mengerahkan semua senjata kita untuk menurunkan takdir baiknya kepada kita.

 

Nashrun minallaha wa fat-hun qarib, wabasy-syiril mu’minin.

Mujahadah di Sepuluh Akhir Ramadhan


MUJAHADAH DI SEPULUH AKHIR RAMADHAN

Dr. Ir. H. Abu Zakariya Sutrisno, S.T, M.Sc, Ph.D

Wakil Ketua PCM Sukoharjo

 

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kita kesempatan untuk bersama-sama memasuki hari-hari terakhir di bulan Ramadan. Bulan yang penuh berkah dan ampunan ini memberikan kita peluang emas untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meningkatkan kualitas ibadah kita.

 

Kayaknya baru kemarin kita masuk Ramadhan, ternyata tidak terasa kita sudah memasuki sepuluh hari terkhir di bulan Ramadhan. Mari kita manfaatkan sebaik-baiknya sisa Ramadhan yang ada. Kita harus semakin bersemangat dalam ibadah di sisa Ramadhan ini. Hari ini, mari kita bahas tentang Mujahadah di 10 Akhir Ramadhan, atau upaya keras dalam mencapai ketinggian spiritual di akhir bulan yang mulia ini.

 

Berikut ini beberapa poin penting berkaitan 10 hari terakhir Ramadhan:

Pertama, setiap amal tergantung penutupnya

Ramadhan adalah bulan yang penuh keutamaan dan di dalamnya disyariatkan berbagai ibadah yang mulia. Orang yang ingin mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan secara sempurna maka hendaknya dia istiqamah beribadah pada seluruh hari di bulan Ramadhan. Terlebih lagi di hari-hari terakhir karena itu adalah penutup amalannya di bulan Ramadhan. Jangan malah sebaliknya di awal Ramadhan semangat, kemudian di akhirnya malah mengendur. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung penutupnya.” (HR. Bukhari 6493)

 

Kedua, teladan kesungguhan Rasulullah di 10 akhir Ramadhan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan sepuluh hari terakhir Ramadhan secara istimewa. Kegiatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat di awal bulan Ramadhan tidak jauh seperti hari yang lainnya, tetapi begitu memasuki supuluh hari terahir beliau bersungguh-sungguh dalam beribadah. Beliau iktikaf, qiyamul lail dan melakukan amalan lainnya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata:

 

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

“Adalah Rasulullah bersungguh-sungguh pada sepuluh yang terakhir, suatu yang beliau tidak bersungguh-sungguh (seperti itu) di selainnya.” (HR. Muslim 1175)

 

Aisyah radhiyallahu ‘anhu juga berkata:

 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Adalah Rasulullah apabila masuk sepuluh hari (terakhir Ramadhan), beliau mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR Bukhari 2024 dan Muslim 1174)

 

Dan demikian juga para sahabat dan kaum salafus shalih setelahnya, mereka menjadikan penghujung Ramadhan untuk fokus beribadah. Mereka puasa di siang hari, dan bangun berdiri di malam hari untuk qiyamul lail. Jauh sekali perbandingannya dengan kaum muslimin di saat ini, menjelang Ramadhan berakhir masjid-masjid semakin sepi, jama’ah shalat fardhu dan tarawih semakin berkurang. Sebaliknya pasar-pasar semakin ramai, mall dan pusat perbelanjaan lainnya semakin membludak pengunjungnya. – Allahu musta’an-

 

Ketiga: Mencari lailatul qadar

Malam lailatul qadar adalah malam yang sangat mulia. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa malam itu lebih baik dari seribu bulan. Untuk itu sudah semestinya seorang muslim berusaha bersungguh-sungguh ibadah untuk mendapatkan keutamaan malam lailatul qadar. Dalam banyak haditsnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan,  terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Terlebih khusus lagi di malam yang ganjil. Di antaranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ القَدْرِ فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

“Carilah malam lailatul qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari 2020)

 

Keempat: memperbanyak qiyamul lail

Memperbanyak qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan adalah amalan yang sangat utama apalagi di sepuluh hari terakhir dimana diharapkan salah satu malamnya bertepatan dengan lailatul qadar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه

“Barangsiapa mendirikan (shalat malam) Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka diampuni dosanya yang telah lalu. Barangsiapa mendirikan malam lailatul qadar karena keimanan dan mengharap pahala maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari 2014)

 

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berusaha dengan sungguh-sungguh menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan juga membangunkan keluarganya untuk menghidupkan malam (sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sebelumnya).

 

Kelima: beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan

Di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah beriktikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau selalu beriktikaf di sepuluh akhir Ramadhan sampai beliau wafat. Beliau hanya meninggalkan sekali, yaitu saat Fathul Makkah (8 Hijriah) tetapi beliau pun mengadha’nya (mengganti iktikaf di hari lain). Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

 

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu biasa beriktikaf di sepuluh terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. Kemudian para istrinya juga beriktikaf setelahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita menghidupkan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini dan semoga Allah menerima amalan kita di bulan yang penuh keberkahan ini. Aamiin.