Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Berita

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

Bekerjalah di Muhammadiyah dan Besarkanlah Muhammadiyah dengannya

 

Muhammad Nasri Dini

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Sukoharjo

 

Pada tulisan yang terbit sebelumnya berjudul "Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah: Meluruskan Kesalahpahaman" penulis melengkapi pesan popular yang pernah disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan, yaitu “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” dengan kalimat “Bekerjalah di Muhammadiyah dan besarkanlah Muhammadiyah dengannya!”. Kalimat ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Bahwa Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia, telah memberikan kontribusi besar dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dakwah, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial. ‘Nyala Matahari’ yang menjadi penerang dan pencerah di seluruh pelosok nusantara ini menjadi bukti nyata dedikasi Muhammadiyah dalam usahanya untuk mewujudkan masyarakat Islam sebenar-benarnya yang diridhai Allah SWT.

Namun di balik kebesaran Persyarikatan dengan berbagai amal usahanya tersebut, terdapat fenomena yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Yaitu sikap pragmatisme sebagian orang yang penulis ungkapkan secara singkat: “Bekerja di amal usaha Muhammadiyah, yes! Berjuang di Persyarikatan, no!”.

 

Fenomena yang Mengkhawatirkan

Keberhasilan Muhammadiyah mendirikan amal usaha di berbagai bidang tentu sudah diakui oleh berbagai kalangan. Hal ini merupakan warisan yang ditinggalkan oleh sang pendiri, KH. Ahmad Dahlan yang terkenal dengan man of action, manusia yang mengedepankan amal nyata. Karakteristik beliau yang ‘sedikit bicara banyak bekerja’ ini kemudian juga menjadi trade mark Persyarikatan yang dikenal dengan gerakan amal. Maka institusi atau lembaga yang dikelola oleh Muhammadiyah pun kemudian dikenal dan dikenalkan secara luas sebagai amal usaha Muhammadiyah (AUM).

Tapi sejauh mana pengelola amal usaha tersebut memberikan kontribusinya secara nyata untuk berkhidmat dalam pengembangan Persyarikatan, untuk membesarkan Muhammadiyah. Karena tidak dapat dipungkiri hingga saat ini masih saja ada orang yang bekerja dan mencari nafkah di Muhammadiyah, tetapi dia tidak mau ‘bekerja’ untuk membesarkan Muhammadiyah, untuk menghidupkan gerakan Muhammadiyah.

Tidak sedikit kita temui di beberapa sekolah, universitas, rumah sakit, atau amal usaha lainnya, di sana terdapat orang yang bekerja secara administratif di AUM, namun tidak memiliki keterikatan emosional atau ideologis dengan Persyarikatan. Penulis bahkan pernah mendapati secara nyata ada guru di sekolah Muhammadiyah, tetapi dia merupakan anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan lain yang bahkan secara amaliyah bertentangan dengan amaliyah ibadah Muhammadiyah, sebut saja LDII, NU, juga MTA. Sehingga pada banyak kegiatan Muhammadiyah mereka absen, dengan alasan bukan anggota Muhammadiyah. Dan dengan entengnya ada di antara mereka yang mengatakan, “saya cuma kebetulan bekerja di Muhammadiyah kok!”.

Hal di atas hanya sebagian kecil yang pernah penulis jumpai, bisa jadi di tempat yang lain juga ada atau bahkan banyak -meskipun untuk memastikannya dibutuhkan data atau penelitian- guru, tenaga kesehatan, dosen, atau pegawai AUM yang justru berasal dari ormas Islam lain dan tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam yang dipedomani oleh Muhammadiyah. Kemungkinan terburuknya, mereka bisa saja merusak Persyarikatan dengan menyebarkan ideologi lain padahal mereka mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya dari AUM.

Fenomena ini mengkhawatirkan karena menimbulkan setidaknya dua masalah: Pertama, Minimnya kontribusi pada Persyarikatan. Mereka yang bekerja di AUM seringkali hanya melihat Muhammadiyah sebagai tempat mencari nafkah, tanpa ada keinginan untuk berkontribusi dalam gerakan dakwah dan perjuangan Persyarikatan. Jangankan aktif menjadi pengurus Muhammadiyah dan ortomnya, bahkan mengikuti kegiatan Muhammadiyah pun mereka tidak mau.

Kedua, Resiko penyimpangan ideologis. Tanpa keterlibatan aktif di Muhammadiyah, ada kemungkinan nilai-nilai Islam yang ingin ditegakkan Muhammadiyah tidak sepenuhnya dipahami atau bahkan dilaksanakan oleh orang-orang pragmatis tersebut.

 

Mengapa Penting untuk Berjuang di Muhammadiyah?

AUM merupakan manifestasi dakwah Persyarikatan. Maka bekerja di AUM bukan sekadar pekerjaan biasa. Ini adalah ladang dakwah sekaligus amal jariyah. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi bagian dari AUM, baik sebagai guru, dokter, atau staf administrasi, maka ia sejatinya telah menjadi bagian dari misi besar Muhammadiyah. Oleh karena itu, bekerja di Muhammadiyah seharusnya diiringi dengan semangat untuk membesarkan Muhammadiyah, baik melalui peningkatan kualitas kerja maupun dengan aktif terlibat dalam setiap kegiatan Persyarikatan.

Sebagaimana dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000, pada Pedoman Kehidupan dalam Mengelola Amal Usaha poin 1 secara tegas disebutkan bahwa, “Amal usaha Muhammadiyah adalah salah satu usaha dari usaha-usaha dan media dakwah Persyarikatan untuk mencapai maksud dan tujuan Persyarikatan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu, semua bentuk kegiatan amal usaha Muhammadiyah harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan tujuan Persyarikatan, dan seluruh pimpinan serta pengelola amal usaha berkewajiban untuk melaksanakan misi utama Muhammadiyah itu dengan sebaik-baiknya sebagai misi dakwah.”

Maka idealnya jika semakin banyak AUM yang dimiliki oleh Muhammadiyah dengan berbagai macam bidangnya, semakin banyak pula jaringan atau instrumen dakwah yang dimiliki untuk menguatkan Persyarikatan. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa pertumbuhan kuantitas AUM seharusnya berbanding lurus dengan ‘besarnya Muhammadiyah’ sebagai induknya. Semakin banyak AUM, semakin semarak dan gegap gempita pula gerakan dakwah Persyarikatan. Ranting, Cabang, Daerah yang banyak memiliki AUM, tentu akan banyak pula amunisi atau sumber daya dakwah yang mereka punyai.

 

Solusi untuk Mengatasi Fenomena Ini

Lantas bagaimana agar para pekerja AUM juga otomatis dapat berkontribusi untuk membesarkan Muhammadiyah? Berikut beberapa hal yang bisa ditempuh. Pertama, Rekrutmen berbasis ideologi. Dalam proses penerimaan pegawai di AUM, perlu diprioritaskan warga Muhammadiyah yang memiliki komitmen ideologis terhadap gerakan ini. Hal ini penting untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya kompeten secara profesional tetapi juga memiliki keselarasan visi dan misi dengan Muhammadiyah.

Ini sejalan dengan panduan mengelola AUM pada PHIWM poin 4, “Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut. Karena itu, status keanggotaan dan komitmen pada misi Muhammadiyah menjadi sangat penting bagi pimpinan tersebut, agar yang bersangkutan memahami secara tepat fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan. Dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan Persyarikatan.”

Selanjutnya dalam poin 10 panduan mengelola AUM pada PHIWM juga disebutkan, “Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah, diharapkan karyawan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT dan berbuat kebajikan kepada sesama.”

Kedua, Pembinaan Intensif. Bagi pegawai yang sudah ada, pembinaan ideologi dan ke-Muhammadiyahan harus diperkuat. Misalnya, melalui program Darul Arqam/Baitul Arqam, kajian rutin, atau kewajiban mengikuti kegiatan Muhammadiyah. Selain itu AUM perlu menjadi etalase nilai-nilai Muhammadiyah dengan penguatan identitas muhammadiyah. Lingkungan kerja harus mencerminkan budaya Islam berkemajuan yang menjadi ciri khas Muhammadiyah.

Ini sejalan dengan panduan mengelola AUM pada PHIWM poin 13 yang menyebutkan bahwa, “Seluruh pimpinan, karyawan, dan pengelola amal usaha Muhammadiyah selain melakukan aktifitas pekerjaan yang rutin dan menjadi kewajibannya, juga dibiasakan melakukan kegiatan-kegiatan yang memperteguh dan meningkatkan taqarrub kepada Allah SWT dan memperkaya ruhani serta kemuliaan akhlak melalui pengajian, tadarrus serta kajian Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bentuk-bentuk ibadah dan muamalah lainnya yang tertanam kuat dan menyatu dalam seluruh kegiatan amal usaha Muhammadiyah.”

Ketiga, Sinergi antara AUM dan Persyarikatan. AUM dan Persyarikatan harus saling mendukung. Pegawai AUM harus didorong untuk tidak hanya berkontribusi di tempat kerja tetapi juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah. Di PDM Sukoharjo tempat penulis tinggal misalnya, sudah diberlakukan kebijakan bahwa jika akan memperpanjang kontrak kerjanya di AUM, maka dia harus mengumpulkan bukti keaktifan di persyarikatan dalam bentuk portofolio. Mereka harus mengisi apa saja kegiatan persyarikatan yang diikuti selama setahun sebanyak 20 kegiatan yang mencakup 4 kegiatan tingkat daerah, 8 kegiatan tingkat cabang dan 8 kegiatan tingkat ranting yang dilengkapi dengan tandatangan dan stempel pimpinan setempat.

 

Penutup

Bekerjalah di Muhammadiyah dan besarkanlah Muhammadiyah dengannya. Jadikan pekerjaan kita di AUM sebagai ladang amal yang tidak hanya memberikan manfaat dunia tetapi juga pahala akhirat. Jangan hanya semata-mata mencari nafkah, tetapi jadilah bagian dari perjuangan Muhammadiyah. Dengan begitu, AUM akan terus menjadi sumber keberkahan, tidak hanya bagi warga Muhammadiyah tetapi juga bagi seluruh umat manusia.

Mari bersama kita wujudkan Persyarikatan Muhammadiyah yang lebih besar, lebih kuat, dan lebih berpengaruh melalui kontribusi nyata kita di dalamnya. Karena bekerja di Muhammadiyah adalah bentuk ibadah, dan membesarkan Muhammadiyah adalah bagian dari dakwah kita untuk meninggikan kalimat Allah SWT. Wallahu a’lam.

 

*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No. 1/XXIII - Januari 2025 M / Rajab 1446 H

Ibnu Taimiyah Tokoh Mujadid Akbar


Oleh: Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.


Pasca kejatuhan kekhalifahan Islam di Baghdad tahun 1258 masehi, umat Islam mengalami  kemunduran panjang di berbagai sektor kehidupan hingga tahun 1800 masehi ketika penjajahan asing (Barat) semakin meluas di negeri-negeri muslim. Kendati begitu masih terdapat masa kebangkitan pada periode tersebut, yakni dalam fase tahun 1500-1700 masehi dengan bangkitnya tiga kekuasaan besar Islam yaitu dinasti Ustmani di di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India. Namun, dengan kondisi kejatuhan kekuasaan Islam secara luas, penjajahan asing, dan kejumudan di bidang agama, periode panjang itu boleh dikatakan sebagai masa kemunduran peradaban Islam setelah selama sekitar empat abad (650-1258 M) mengalami masa dan puncak keemasan. Lebih-lebih setelah perang Salib,  kondisi umat Islam mengalami pelemahan secara politik, di samping mengalami krisis keagamaan.

Pada periode yang kritis itulah lahir para pembaru (mujadid) di sejumlah negeri muslim, salah satu yang paling awal dan menonjol ialah Ibn Taimiyyah. Nama lengkapnya Taqiyyuddin Ahmad Ibnu Taimiyyah, lahir di Harran, sebuah kota kecil di Syiria pada hari Senin 10 Rabiul Awwal  (sebagian pendapat tanggal 12 Rabiul Awwal) tahun  661 hijriyah  bertepatan tahun 1263 Miladiyah)  dan meninggal di penjara Damaskus pada hari Ahad malam tanggal 20 Dzulqa‘dah tahun  728 H (1328 M).

Ayahnya bernama Syihabuddin, seorang ahli Hadits dan menjadi Khatib terkenal di Masjid Besar Damaskus. Pamanya, Fakhruddin, juga seorang ulama dan penulis yang masyhur di Damaskus. Kepada ayah dan pamannya itulah Ibn Taimiyah menimba ilmu, untuk kemudian belajar ke guru dan tempat lain setelah keluar dari Harran.  Di kota Harran yang memiliki tradisi keilmuan tinggi itulah Ibn Taimiyah menghabiskan masa kecilnya selama enam tahun hingga kemudian pindah (mengungsi) ke Damaskus (ibukota Syam kala itu atau Syiria saat ini) karena serangan tentara Mongol (Tartar)  yang membabibuta ke kota kelahirannya itu.

Di Ibukota Syiria itulah Ibn Taimiyah mengasah ilmunya dan berkenalan secara intensif dengan pemikiran Imam Ibn Hanbal atau mazhab Hanbali, yang sejak lama di kota itu memang sudah berdiri lembaga pendidikan Hanbali yang termasyhur yang didirikan oleh Abu Faraj Abdul Wahid Al-Faqih, seorang murid qadhi Mazhab Hanbali yang ternama yaitu Abu Ya‘la yang hidup di akhir abad kelima hijriyah.

Ibn Taimiyah memang sering dihubungkan dengan penerus dan pemikir yang memiliki kaitan dengan Mazhab Hanbali. Pemikirannya  untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf al-Shalih (tiga generasi terbaik sesudah Nabi) yang membawa misi pemurnian akidah yang sering diklaim sebagai golongan yang selamat (firqah najiyah) sebagaimana pesan Nabi mengenai lahirnya berbagai golongan dalam Islam.Gerakan untuk menghidupkan ajaran Salafiyah yang murni itulah yang membawa persentuhan Ibn Taimiyah dengan Madzhab Hanbali yang sejak awal menggelorakan Salafiyah.

Karena itu, hingga batas tertentu, gerakan Salafiyah bahkan memperoleh napas baru di tangan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah, yang menampilkan pemikiran dan gerakannya dengan begitu cerdas dan cemerlang.  Pemikirannya selain tentang tauhid, tafsir, hadis,  dan fiqh yang begitu luas dan mendalam, juga tentang politik sebagaimana termaktub antara lain dalam karya utamanya As-Siyasah As-Syar‘iyyah. Dia sangat keras pula menentang tasawuf, terutama yang membawa paham wihdat al-wujud atau phanteisme. Dia juga pendobrak pintu ujtihad yang ditutup rapat kala itu. Di sinilah Ibn Taimiyah menjadi sosok ulama dan pemikir besar yang menonjol dalam menggelorakan gerakan “Kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” (al-ruju‘ ila al-Quran wa al-Sunnah) , yang dikenal pula dengan gerakan pemurnian Islam.

Gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Ibn Taimiyah dan kemudian mengilhami gerakan-gerakan pembaruan Islam babak berikutnya, memang dinisbatkan pada ajaran Salaf al-Shalih, yakni ajaran Islam yang dipraktikkan dan dianut di zaman Nabi, Sahabat, Tabi‘in, dan Tabi’ut Tabi‘in hingga abad ke-3 hijriyah, yang dikenal pula dengan gerakan Islam aseli (Harun Naution, 2001: 19). Islam aseli atau murni tersebut belum tercemar oleh praktik-praktik syirk (kemusyrikan), bid‘ah, tahayul, dan khurafat; yang di lingkungan Muhammadiyah dikenal dengan TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat).  Ibn Taimiyah, sebagaimana Imam Ibn Hanbal dan Madzhab Hanbali, memang sosok yang cukup keras dalam menggelorakan pemurnian Islam tersebut. Hal tersebut karena situasi kehidupan umat Islam kala itu memang tengah berada dalam situasi penuh krisis. Dia berada di tengah zaman ketika Islam yang autentik banyak tercemar oleh berbagai penyimpangan, sehingga gerakan “kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” yang dikumandangkannya memang sangat kontekstual dengan zaman kritis saat itu.

Ketika itu (abad ke-7 dan ke-8 hijriyah), kala Ibn Taimiyah hadir di pentas sejarah umat Islam yang penuh gejolak, umat Islam di Timur (Baghdad) tengah berada dalam penguasaan tentara Mongol, yang sebagian tentaranya banyak yang masuk Islam dan berpengaruh dalam kehidupan penduduk muslim saat itu, tetapi lebih banyak formalitas untuk kepentingan politik.

Lebih jauh lagi, timbul pencampur-adukan praktik-praktik Islam yang berbau TBC, sehingga Islam menjadi agama yang diterlantarkan dan kehilangan kemurniannya sebagaimana zaman Nabi dan generasi Salaf. Pada masa itu pula kaum muslimin tengah berhadapan selain dengan pasukan Mongol, juga ekspansi Kristen dan penjajah Eropa, serta di dalam terjadi perpecahan kekuasaan di tubuh umat Islam sendiri (Qamaruddin Khan, 1971: 34).

Dinasti Mamluk yang tengah memegang tampuk kekhilafahan Islam tengah dilanda krisis, lebih-lebih setelah kedatangan atau invasi tentara Mongol dan kebangkitan kembali kekuasaan Bizantium untuk melakukan balas dendam melalui Perang Salib guna merebut kembali Palestina dan daerah-daerah sekitarnya yang dulu menjadi wilayah kekuasaannya ketika dulu ditaklukan Islam pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Di era krisis itu pula Ibn Taimiyah beberapa kali terjun ke medan perang membela Islam dan umat Islam, sehingga dia pun bukan sekadar mujtahid tetapi juga mujahid Islam.

Ibn Taimiyah, selain menyuarakan kembali pada Islam generasi Salaf, juga memelopori dibukanya pintu ijtihad. Jadi tidak semata-mata kembali ke Islam murni, tetapi juga mengajak tajdid atau pembaruan di tubuh umat Islam kala itu. Dia bukan hanya fuqaha (yuris) yang menonjol, tetapi juga teolog terbesar abad tengah, sehingga dijuluki sebagai “Syeikh al-Islam”. Lebih dari itu, Ibn Taimiyah   bahkan  dijuluki sebagai “mujadid” atau pembaru ternama di dunia Islam.

Ratusan karya tulisnya luar biasa, baik dalam bentuk makhthuthat (manuskrip) maupun risalah atau buku, juga syair, sehingga merupakan pemikir dan tokoh paling menonjol dalam sejarah pemikiran Islam klasik. Adz-Dzhaby seperti dikutip Ali Sami An-Nasyyar (1995: vi-vii) melukiskan Ibn Taimiyah sebagai figur pembaca yang berhasil, mahir dalam ilmu hadis dan fiqh pada usia relatif muda, ahli tafsir, ushul fiqh, dan seluruh ilmu keislaman secara global, kecuali ilmu qiraat. Dia juga menguasai filsafat sehingga mampu membongkar kelemahan filsafat, juga menguasai secara sempurna masalah lughah, nahwu, dan sharaf. Dialah sosok mujtahid muthlaq yang besar.

Dalam situasi Islam dan umat Islam yang terpuruk itulah Ibn Taimiyah mengumandangkan gerakan pemurnian dan pembaruan Islam. Gerakan tersebut membawa konsekuensi pula pada pergesekan Ibn Taimiyah dengan sesama ulama dan penguasa di sejumlah negeri muslim kala itu terutama di Syiria dan sekitarnya (Mesir, Libanon, dan Palestina), lebih-lebih karena pembawaannya yang keras dan tajam.

Karena itu tercatat pula bahwa Ibn Taimiyah semasa hidupnya penuh pergulatan, bahkan persengketaan paham dengan ulama dan pemerintah di era dinasti kekhalifahan kala itu, sehingga mengalami “mihnah” (penghakiman karena perbedaan pandangan oleh penguasa atau kekuatan dominan) yang membuat dirinya menjadi korban dan beberapa kali dipenjara.

Kondisi yang penuh gesekan dengan ulama pendukung kekuasaan dan yang sejak awal tidak sepaham dengan Madzhab Hanbali, selain dengan penguasa Islam kala itu, menghantarkannya pada nasib buruk hingga dipenjara beberapa kali. Di penjara itu pula, di kota Damaskus, pada tanggal 20 Dzul‘qdah 1328 miladiyah,  Syeikh al-Islam sang pembaru dari Harran itu wafat. Kendati nasibnya tragis sebagai korban kesewenang-wenangan rezim ulama dan penguasa kala itu, namun namanya harum hingga saat ini sebagai sosok pembaru dan pelopor kembangkitan Islam yang sangat ternama dan cemerlang di dunia Islam.


Sumber: Website Suara Muhammadiyah

PPTQM Qolbun Saliim Blimbing Gelar Kajian Parenting Mendidik Anak Perempuan



Sukoharjo – Ratusan jamaah dari berbagai kalangan, mulai dari bapak, ibu, anak-anak hingga lansia, memadati Kajian Parenting bertajuk "Mendidik Seorang Anak Perempuan, Membina Sejuta Umat" yang digelar pada Sabtu (4/1/2025) di Masjid Salma, Komplek Pondok Pesantren Tahfizhul Qur'an Muhammadiyah (PPTQM) Qolbun Saliim, Kenokorejo, Polokarto.

Acara ini menghadirkan Ustadz Alif Bachtiar, M.Pd, Al Hafizh, seorang pakar pendidikan Islam yang juga menjabat sebagai Pembantu Direktur 1 Bidang Pendidikan dan Kurikulum Ma’had Tahfizhul Qur’an Isy Karima Karanganyar. Hadir pula sejumlah tokoh penting, termasuk Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kenokorejo Joko Sutrisno, S.Pd, Ketua Majelis Pendidikan PRM Kenokorejo Dr. Wahyu Dwi Saputra, Mudir PPTQM Qolbun Saliim Muhammad Fikri Ath Thoriq, S.Pd, serta Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo M. Nasri Dini.

Dalam ceramahnya, Ustadz Alif menekankan bahwa Islam menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki dalam banyak aspek, kecuali beberapa hal yang diatur oleh syariat. "Islam tidak mendiskriminasi perempuan seperti agama-agama terdahulu sebelum Islam, justru memuliakan mereka dengan aturan yang memberikan hak dan tanggung jawab sesuai kodratnya," ujar Ustadz Alif.

Beliau juga mengutip hadis tentang keutamaan mendidik anak perempuan, “Siapa yang mendidik dua anak perempuan hingga ia dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia (seperti ini).” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian mengisyaratkan dengan mendekatkan jari jemarinya. (HR. Muslim).

Pentingnya Pendidikan Berbasis Al-Qur'an dan Sirah Nabi
Ustadz Alif mengingatkan bahwa pendidikan agama harus menjadi pondasi utama bagi setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan. "Setiap anak memiliki potensi yang berbeda, namun idealnya setiap keluarga minimal memiliki satu anak yang hafal Al-Qur'an. Dengan bekal ini, mereka akan memiliki dasar yang kokoh, apapun profesi yang mereka tekuni nanti," tegasnya.

Ia juga menjelaskan alasan kajian ini menitikberatkan pada anak perempuan, mengacu pada penelitian bahwa 70% kecerdasan anak diturunkan dari ibunya. "Ibu adalah guru pertama bagi anaknya, yang akan menjadi teladan dalam pembentukan karakter dan kecerdasan," tambahnya.

Antusiasme Jamaah
Kajian yang dimulai sejak ba’da Ashar hingga menjelang Magrib ini berlangsung dengan khidmat. Para peserta tampak antusias mengikuti materi yang disampaikan. Selain memperoleh ilmu yang bermanfaat, peserta juga mendapatkan kesempatan meraih berbagai doorprize menarik dari panitia.

Sekretaris PRM Kenokorejo, H. Heri Dwi Nugroho, S.H, S.H.I yang bertindak selaku pembawa acara menyampaikan harapannya agar acara ini dapat menginspirasi orang tua untuk lebih memperhatikan pendidikan anak, terutama anak perempuan, sebagai upaya membangun generasi penerus yang berakhlak mulia dan cerdas.

Muhammadiyah Meneguhkan Peran Majelis Tabligh

 

Andika Rahmawan

Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PDM Sukoharjo,

Guru SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo

 

Di Persyarikatan Muhammadiyah, keberadaan Majelis Tabligh menjadi salah satu pilar utama yang menopang gerakan dakwahnya. Dengan visi amar ma’ruf nahi munkar, Majelis Tabligh bertanggung jawab menyampaikan kepada umat ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Al Maqbulah dalam pemahaman Muhammadiyah. Tugas ini menjadikan Majelis Tabligh jembatan antara hasil kajian Majelis Tarjih dan kehidupan umat sehari-hari.  Secara singkat dapat dikatakan bahwa jika produk keagamaan Persyarikatan dilahirkan oleh Majelis Tarjih, maka Majelis Tabligh yang bertugas untuk mensosialisasikannya pada umat.

 

Mendakwahkan Tauhid Mengawal Tajdid

Mendakwahkan tauhid adalah misi fundamental Majelis Tabligh. Tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, menjadi dasar keyakinan yang harus ditanamkan kepada umat. Dalam dakwahnya, Majelis Tabligh harus selalu menekankan pentingnya keimanan yang bersih dari segala bentuk takhayul, bid’ah, khurafat, dan syirik yang berpotensi merusak hubungan manusia dengan Allah SWT.

Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat hingga saat ini masih terdapat berbagai kepercayaan dan praktik yang menyimpang dari prinsip tauhid. Oleh karena itu, dakwah tauhid bertujuan untuk membebaskan umat dari belenggu pemahaman yang keliru. Tauhid yang murni menjadi landasan bagi keyakinan beragama yang kokoh, mengantarkan manusia kepada hubungan yang harmonis dengan Allah SWT.

Selain mendakwahkan tauhid, Majelis Tabligh juga bertanggungjawab dalam mengawal tajdid. Tajdid, yang bermakna pembaruan dan pemurnian, telah menjadi semangat dakwah Muhammadiyah sejak awal berdirinya. Dalam bidang muamalah duniawiyah, tajdid diwujudkan melalui inovasi yang menjawab kebutuhan zaman. Sementara dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid berfokus pada pemurnian dari praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Mengawal tajdid berarti menjaga agar gerakan pembaruan Muhammadiyah tetap relevan dan berada di atas landasan yang benar. Majelis Tabligh harus selalu memastikan bahwa dakwah yang dilakukan tidak hanya menyampaikan ajaran Islam yang murni, tetapi juga menjawab tantangan zaman. Dengan demikian, Islam tidak hanya menjadi pedoman spiritual, tetapi juga solusi bagi permasalahan umat.

Menyelaraskan antara mendakwahkan tauhid dan mengawal tajdid seharusnya adalah fondasi dan identitas dakwah Muhammadiyah yang diimplementasikan terutama oleh Majelis Tabligh. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Tauhid memberikan dasar keimanan yang kuat, sementara tajdid memastikan bahwa ajaran Islam tetap relevan dan aplikatif. Keduanya bersatu dalam berbagai program dakwah, yang diimplementasikan oleh bidang-bidang yang dimiliki dalam struktural Majelis Tabligh.

Untuk mendakwahkan tauhid dan mengawal tajdid, Majelis Tabligh punya Bidang Pemberdayaan Korps Mubaligh dan Kemasjidan yang harus memberikan perhatian khusus pada penguatan kapasitas para mubaligh Muhammadiyah. Selain itu, bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Cabang Ranting dan Pembinaan Masjid (PPCR-PM), bidang ini juga bertugas meningkatkan peran masjid sebagai pusat peradaban Islam.

Selain itu ada pula Bidang Pendidikan, Pelatihan, dan Kaderisasi Mubaligh yang berfungsi membentuk dan mengembangkan kader-kader mujahid dakwah yang tangguh. Pelatihan intensif bagi mubaligh diarahkan agar mereka tidak hanya memahami Islam secara mendalam tetapi juga memiliki kemampuan komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan dakwah. Sehingga mubaligh Muhammadiyah dapat menjadi solusi bagi permasalahan umat.

 

Mencerahkan Menggerakkan Menggembirakan

Sejak Periode lalu Majelis Tabligh punya tagline mencerahkan, menggerakkan, menggembirakan. Dakwah memang harus menekankan aspek mencerahkan, berarti memberikan pemahaman yang mendalam kepada umat tentang ajaran Islam, membebaskan mereka dari kebodohan, dan membawa pencerahan intelektual. Dalam hal ini, Majelis Tabligh tidak hanya berfokus pada aspek spiritual tetapi juga aspek intelektual, sosial, dan budaya.

Majelis Tabligh harus senantiasa mendorong umat untuk bergerak maju. Menggerakkan berarti menginspirasi dan memotivasi masyarakat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Islam. Kegiatan dakwah dirancang untuk menciptakan umat yang aktif, produktif, dan berdaya, sehingga dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan umat yang berkemajuan.

Menggembirakan juga merupakan elemen penting dalam gerakan dakwah Majelis Tabligh. Menggembirakan berarti menyampaikan pesan dakwah dengan ramah dan penuh kasih sayang. Ini mencerminkan bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat dan kebahagiaan, bukan menebar kebencian dan menyusahkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari sahabat Abdullah bin Mas’ud RA, "Mudahkanlah, janganlah mempersulit; berilah kabar gembira, dan janganlah membuat mereka lari." (HR. Bukhari dan Muslim)

Di era digital, tantangan dakwah semakin kompleks. Majelis Tabligh harus menjawab tantangan ini dengan memanfaatkan teknologi informasi. Dari segi struktural Majelis Tabligh didukung adanya Bidang Sistem Informasi Dakwah dan Digitalisasi Tabligh yang dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk memperluas jangkauan dakwah. Media sosial, situs web, dan aplikasi daring menjadi alat utama bidang ini untuk menjangkau lebih banyak sasaran dakwah, utamanya generasi muda dan masyarakat urban yang akrab dengan dunia digital.

Majelis Tabligh juga harus berupaya menjaga keseimbangan antara tradisi Islam dan modernitas. Dalam menyampaikan dakwah, ajaran Islam yang diajarkan tetap berpegang pada sumber-sumber autentik, dalam hal ini kitab-kitab turats, sementara metode penyampaiannya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pendekatan ini membuat dakwah tetap relevan dan menarik bagi berbagai lapisan umat.

Majelis Tabligh juga mesti bekerjasama dengan majelis-lembaga lain dan amal usaha/institusi di bawah naungan Muhammadiyah. Seperti Majelis Tarjih, untuk memastikan bahwa materi dakwah yang disampaikan sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan. Sinergi dengan Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTM-A) juga penting dijalin utamanya untuk menjaga dukungan signifikan agar fasilitas dakwah dapat dipenuhi. Sinergi ini adalah keniscayaan untuk memperkuat dakwah sehingga memberikan manfaat yang lebih besar kepada umat.

Di tingkat internasional, Majelis Tabligh berpotensi untuk menjadi rujukan dakwah dunia Islam. Dengan pendekatan yang berbasis pada ajaran Islam yang moderat, dakwah Muhammadiyah dapat menjadi model bagi gerakan Islam di berbagai negara. Apalagi di Majelis Tabligh saat ini ada Bidang Tabligh Global dan Kerja Sama yang bertugas memperluas jaringan dakwah hingga ke tingkat internasional. Baik dengan lembaga-lembaga Islam global maupun Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang menurut data (https://muhammadiyah.or.id/cabang-istimewa) saat ini jumlahnya mencapai 29. Bidang ini berperan dalam mempromosikan model dakwah Muhammadiyah sebagai solusi atas tantangan global umat Islam dengan mengedepankan Islam yang moderat dan toleran.

Dakwah Majelis Tabligh tidak hanya bersifat verbal tetapi juga dalam bentuk amal perbuatan nyata. Majelis Tabligh harus turut mendukung program-program sosial untuk meningkatkan kualitas hidup dan pembinaan jamaah. Hal ini mencerminkan bahwa dakwah Muhammadiyah bersifat holistik, mencakup aspek spiritual, intelektual, dan sosial.

Kegiatan sosial relevan diaplikasikan oleh Bidang Pembinaan Remaja dan Keluarga yang menitikberatkan pada pembinaan generasi muda dan keluarga sebagai inti dari umat. Dengan program yang dirancang khusus untuk anak muda, bidang ini diharapkan dapat menjawab tantangan era digital, seperti krisis moral dan sosial, dengan pendekatan dakwah yang relevan.

Selain itu juga bisa dilakukan oleh Bidang Pembinaan Jamaah yang berfungsi memastikan bahwa warga Muhammadiyah mendapatkan bimbingan yang optimal dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Pembinaan tidak hanya dilakukan melalui program keagamaan, seperti pengajian rutin, tetapi juga pelayanan sosial berbasis masjid. Para mubaligh tidak hanya menyampaikan pesan tetapi juga mendengarkan aspirasi dan kebutuhan umat. Hal ini dapat memperkuat hubungan antara mubaligh dan umat, sehingga dakwah menjadi lebih efektif.

Dalam menjalankan tugasnya, Majelis Tabligh menghindari pendekatan yang eksklusif. Sebaliknya, dakwah yang dilakukan bersifat inklusif, merangkul semua kalangan tanpa memandang perbedaan latar belakang. Pendekatan ini diharapkan dapat mempererat ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat.

Di tengah tantangan global, Majelis Tabligh juga harus menyadari pentingnya inovasi dalam dakwah. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis harus terus dilakukan untuk memastikan bahwa dakwah tetap relevan dan efektif di era modern. Maka relevan dengan adanya Bidang Riset, Inovasi, dan Publikasi Tabligh yang fokus pada pengembangan dakwah berbasis penelitian. Dengan riset, bidang ini menghasilkan materi dakwah yang akurat dan update, disertai inovasi dalam metode penyampaiannya. Publikasi berbagai produk dakwah juga menjadi bagian penting untuk menjangkau mad’u yang lebih luas.

Dengan semangat mencerahkan, menggerakkan, dan menggembirakan, Majelis Tabligh Muhammadiyah harus terus berupaya menjadi pelopor dalam dakwah Islam yang berkemajuan. Dakwah yang dilakukan tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan ajaran Islam tetapi juga untuk membangun masyarakat yang adil, sejahtera, dan diridhai Allah SWT.

Melalui kerja keras yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, Majelis Tabligh akan terus menjadi motor penggerak dakwah Muhammadiyah yang membawa pencerahan, kegembiraan, dan kemajuan bagi umat manusia. Dengan mendakwahkan tauhid, mengawal tajdid, dan mengedepankan nilai-nilai Islam yang moderat, cita-cita Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dapat tercapai. Semoga!


*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No. 1/XXIII - Januari 2025 M / Rajab 1446 H

Ibnu Taimiyah: Sang Pembaru Pencetus Neo-Sufisme


Tasawuf adalah salah satu diskursus yang paling banyak diperbincangkan dan senantiasa mengundang perdebatan pro dan kontra di tengah pemikir Islam dalam setiap putaran zaman. Pro dan kontra tersebut di samping disebabkan oleh karakter tasawuf yang sangat personal dan subyektif, juga karena tasawuf dianggap telah menggelincirkan umat Islam kepada sikap lembek dan fatalistik yang tidak kompatibel dengan ajaran Islam. Bandingkan dengan fikih, yang walaupun sering menjadi sumber konflik juga terkadang mampu menjadi instrumen pemersatu dan ciri utama dari peradaban Islam (al-Jabiri, 1990: 97).

Selama ini berkembang sebuah kesalahpahaman dalam mempersepsikan sikap seorang mujaddid besar dalam sejarah Islam, Ibnu Taimiyah, terhadap diskursus Tasawuf. Ignaz Goldziher dan Lois Massignon, dua orang tokoh orientalis terkemuka misalnya, mencitrakan Ibnu Taimiyah sebagai seorang puritan yang paling besar ‘tongkatnya’ dalam menggebuk tasawuf. Kenyataan sesungguhnya tidaklah demikian. Dalam diri Ibnu Taimiyah sesungguhnya terdapat sebuah sikap kosmopolitan yang berhasil menggabungkan antara apresiasi terhadap dimensi spiritual tasawuf, terutama yang berdiri kokoh di atas doktrin al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbulah, dan sikap oposisi terhadap tasawuf yang memancar dari pemikiran filosofis yang spekulatif dan praktek-praktek yang eksesif.


Jejak Al-Ghazali dalam Pemikiran Tasawuf Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah lahir pada periode kritis yaitu pada tahun 1263 M, lima tahun pasca kejatuhan Baghdad sebagai simbol kekhalifahan ke tangan tentara Mongol. Dalam situasi Islam dan umat Islam yang serba terpuruk Ibnu Taimiyah mengumandangkan gerakan pemurnian dan pembaruan Islam. Kondisi yang penuh gesekan dengan ulama pendukung kekuasaan dan yang sejak awal tidak sepaham dengan Madzhab Hanbali, selain dengan penguasa Islam kala itu, menghantarkannya pada nasib buruk hingga dipenjara beberapa kali.

Di penjara itu pula, di kota Damaskus, pada tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H, Syeikh Islam sang pembaru dari Harran itu wafat. Kendati nasibnya tragisnya sebagai korban kesewenang-wenangan rezim ulama dan penguasa kala itu, namun namanya harum hingga saat ini sebagai sosok pembaru dan pelopor kebangkitan Islam yang sangat ternama dan cemerlang di dunia Islam (Nashir, 2010: 82-6).

Seperti dinyatakan oleh Fazlur Rahman, gagasan Ibnu Taimiyah di bidang tasawuf adalah penajaman kembali dan sampai batas tertentu juga kritik terhadap proyek sintesa sufisme dan ortodoksi yang telah dilakukan sebelumnya oleh para tokoh sebelum Ibn Taimiyah. Tujuan sufisme ortodoks sendiri adalah untuk ihya atsar as-salaf (reaktualisasi paham salafiyah) dengan mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan terdahulu (Siregar, 2002: 300). Puncak dari usaha untuk memperbarui tasawuf pada masa sebelum Ibnu Taimiyah ada pada diri al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) dengan karya monumentalnya Ihya Ulumiddin. Dalam bukunya tersebut al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu yang tertinggi ialah ilmu tasawuf, suatu ilmu yang mendukung orientasi batini keagamaan (Madjid, 2009: 88).

Namun, proyek sintesa ortodoksi dengan sufisme yang tercermin dalam sufisme ortodoks al-Ghazali justru menyisakan bahaya besar bagi perkembangan sufisme di kemudian hari. Kegiatan kritis, sintesis dan pembaruan al-Ghazali, pada waktu yang sama, ternyata menjadi titik balik dalam sejarah spiritual Islam, dan memaksa aliran ide-ide di masyarakat ke arah divisi-divisi dan kombinasi-kombinasi baru (Rahman, 2003: 208). Bahaya besar yang lahir pasca sintesa tersebut adalah dua hal berikut; pertama, munculnya bermacam-macam tarikat.

Tasawuf yang sebelumnya hanyalah sebuah ajaran spiritual yang tersistematisir, pasca Ghazali justru berubah menjadi sebuah ikatan persaudaraan yang teroganisir, memiliki sistem dan silabus sendiri-sendiri. Agama populer (religion within religon) inilah yang memiliki andil sangat signifikan dalam proses kemorosotan serta degradasi umat Islam pasca al-Ghazali. Seperti diketahui bahwa al-Ghazali hidup pada masa era perang salib. Sebagai seorang ulama ia semestinya menggelorakan perlawanan untuk kaum Salib yang tengah menjadi bahaya di ufuk mata. Namun nyatanya al-Ghazali justru memilih jalur skeptis terhadap dunia aktivisme dan mengambil jalan uzlah serta mengajak umat Islam bertobat, sebab Perang Salib baginya adalah hukuman yang ditimpakan Allah kepada kaum muslimin sebab dosa-dosa mereka (Hilmi, 2005: 285).

Bahaya kedua yang menjadi ekses di luar skenario yang dirancang al-Ghazali adalah berkembangnya theosofi sufi (Rahman, 2003: 203). Ibnu Taimiyah sendiri menuduh bahwa genealogi thesofi sufi (tasawuf falsafi) bisa dilacak pada pemikiran al-Ghazali dalam karyanya Misykatul Anwar dan Kimiau Saadah. Pemikiran al-Ghazali tentang kasyf menjadi gerbang pembuka bagi munculnya pemikiran spekulatif di bidang tasawuf yang muncul di kemudian hari.

Namun demikian, para theosufis sendiri sesungguhnya enggan mengakui al-Ghazali sebagai sosok yang melempengkan jalan bagi proyek yang mereka usung. Dalam Magnum Opus-nya “al-Futuhat al-Makkiyah” Ibnu Arabi mengatakan bahwa al-Ghazali belum mencapai derajat “dekat dengan Allah”, karena ia masih berpandangan bahwa kenabian adalah pintu yang sudah tertutup sementara para theosofis mengimani bahwa wahyu belumlah selesai (Hilmi, 2005: 286).


Neo-Sufisme Ibnu Taimiyah

Neo sufisme adalah sufisme yang telah diperharui (reformed sufism) (Rahman, 2003: 285). Sumbangan positif yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dalam neo-sufismenya adalah penekanan motif moral tasawuf dan penerimaan sebagian tehnik dzikrmuraqabah dan konsentrasi spiritualnya. Namun obyek dan kandungan konsentrasi ini diidentikkan dengan doktrin ortodoks dan tujuannya didefinisikan kembali sebagai penguatan iman kepada ajaran-ajaran dogmatis dan kesucian moral jiwa.

Dalam neo-sufismenya, Ibnu Taimiyah memasukkan unsur purifikasi yang ia anggap dapat mendorong secara efektif rekonstruksi sosial masyarakat muslim. Ia juga menekankan corak aktivisme ketimbang pasifitas dalam menghadapi kehidupan. Doktrin asketisme (zuhud) yang eksesif dan uzlah yang kontraproduktif bagi perubahan tidak tersisa sama sekali dalam gagasan genial neo-sufisme Ibnu Taimiyah.

Dalam neo-sufismenya, Ibnu Taimiyah masih menggunakan terminologi-terminologi sufi seperti salik (penempuh jalan spiritual) dan kasyf (intuisi), namun dengan substansi yang telah ia reformasi. Mengenai yang disebut terakhir, Ibnu Taimiyah menerima kasyf para sufi, namun ia menolak klaim infallibilitasnya, yaitu bahwa pengalaman sufi tidaklah memiliki validitas yang tak tergoyahkan dan eksklusif, sehingga dalam kenyataannya validitas kandungannya harus diuji dengan rujukan kepada dunia luar

Kritik yang tajam juga diarahkan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf populer (tarikat). Baginya tarikat tak lain adalah pelembagaan sikap fatalistik (istislam) yang dibalut dengan simbol-simbol spiritual seperti tawakal, sabar dan tunduk. Watak ajaran Islam yang esensial adalah aktivisme, sehingga seluruh pemikiran yang menyerukan untuk mengisi dunia hanya dengan duduk berzikir, tenang dan tidak berani menghadapi gelombang kehidupan adalah tidak layak untuk disebut Islam.

Dalam menelisik akar sikap fatalistik pada kaum sufi ini, ia menemukan adanya doktrin al-jabariyah  sebagai pemain utama yang bertanggungjawab terhadap kemunduran Islam. Kaum sufi menurutnya telah salah paham dalam memaknai kehendak Tuhan, di mana mereka berkeyakinan bahwa setiap tindak tanduk kita di dunia adalah kreasi Tuhan. Teologi seperti itulah yang menyebabkan kaum sufi tidak berbuat apa-apa saat Perang Salib dan Perang Mongol tengah bergejolak di dunia Islam.

Ajaran-ajaran tarikat yang menekankan sikap pasrah terhadap syaikh dan menghilangkan kebebasan dari para murid juga menjadi sasaran kritik tersendiri bagi Ibnu Taimiyah. Ia banyak menyerang ritus-ritus sufi dan praktek-praktek pemujaan makam serta pengkultusan wali-wali mereka. Tentang para syaikh sebagai guru spiritual sendiri Ibnu Taimiyah memiliki pandangan yang sangat moderat. Ia mengakomodasi konsep mursyid atau syaikh dalam tasawuf dan memilih untuk mengkritik ekslusifitas kaum sufi karena mewajibkan berguru pada satu syaikh saja (Taimiyah, 2006: IX/512).

Kritik terkeras yang dilancarkan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf adalah pada tasawuf falsafi, khususnya konsep Wahdatul Wujud Ibnu Arabi (w. 638 H/1240 M) dan Ittihad al-Hallaj (w. 308 H/920 M). Wahdatul Wujud (doktrin monistik) menurut Ibnu Taimiyah adalah ancaman yang sangat fatal terhadap konsep syariah Islam. Konsep kesatuan transedensi agama-agama adalah ciri esensial dari wujud Ibnu Arabiy yang menghantam prinsip tauhid Islam (Hilmi, 2005, 351).

Theosofi sufi menurut Ibnu Taimiyah juga telah melakukan bid’ah yang tak termaafkan. Suhrawardi (w. 578 H/1182 M) yang dijuluki al-maqtul karena terbunuh di tiang gantungan, misalnya, mengatakan bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diperoleh siapapun (al-nubuwwah muktasabah) (al-Jabiri, 1990: 299). Para theosofis karena terpengaruh fikiran spekulatif filsafat neo-Platonis juga mengatakan bahwa derajat para wali lebih tinggi daripada derajar pada nabi.

Beberapa kalangan berusaha untuk tetap akomodatif dengan syatahat (pernyataan ekstatis para sufi) karena ia dibuat dalam keadaan ‘mabuk’ (al-majbur ma’dzur) (Ibnu Khaldun, 2006: 1080). Bagi kalangan ini pernyataan ekstatis tersebut hanya bisa dirasakan kebenarannya oleh kaum sufi sendiri dan memang tidak bisa didesiminasi ke sembarang orang. Namun karakter yang demikian itulah yang dihujani kritik oleh Ibnu Taimiyah yang beraliran empirik karena akan menutup pintu terjadinya penyelidikan ilmiah. Abid al-Jabiri (1990: 291) pemikir kontemporer kawakan juga mengkritik epistem seperti itu karena akan menabrak dan mendokstruksi prinsip ilmiah dalam ilmu pengetahuan (baca: burhani) dan prinsip pemaknaan makna terhadap teks-teks agama (baca: bayani). Wallahu A’lam.


Muhammad Rofiq Muzakkir, Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta

Sumber: Website Suara Muhammadiyah

Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah: Meluruskan Kesalahpahaman


Muhammad Nasri Dini

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo


Pesan yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” memiliki nilai yang sangat mendalam dalam gerakan dakwah dan perjuangan Muhammadiyah. Pernyataan ini menekankan pada komitmen para aktivis Muhammadiyah untuk menghidupkan dan memperjuangkan Persyarikatan ini tanpa pamrih atau ada kepentingan pribadi. Sejarah mencatat bahwa pesan ini lahir sebagai jawaban atas pertanyaan salah satu murid KH. Ahmad Dahlan tentang apakah jika menjadi pengurus Muhammadiyah akan mendapatkan upah/gaji. Setidaknya dialog ini bisa kita rekam dari salah satu adegan dalam film biografi KH. Ahmad Dahlan “Sang Pencerah” yang pernah popular beberapa tahun yang lalu. Dan jawabannya adalah tegas: tidak hanya tanpa upah/gaji, tetapi dalam perjuangan justru memerlukan pengorbanan harta.

Namun, perlu dipahami bahwa konteks pernyataan tersebut adalah untuk menggarisbawahi pentingnya militansi dalam dakwah dan perjuangan, bukan berarti Muhammadiyah mengabaikan kesejahteraan para pengelola amal usahanya yang menghasikan nilai finansial. Hal ini sangat relevan untuk diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan penyalahgunaan makna, khususnya terkait pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) ‘basah’ yang menghasilkan seperti sekolah, rumah sakit, dan lembaga lainnya. Karena beberapa kali penulis pernah mendapati orang yang mencela atau sekedar mengejek para pekerja di AUM dan menganggapnya telah melanggar pesan KH. Ahmad Dahlan tentang “jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

Kalau boleh mengambil kesimpulan sendiri, menurut hemat kami pernyataan ini khusus ditujukan pertama kali kepada para pengurus Muhammadiyah. Bahwa tidak selayaknya mereka mengharapkan imbalan duniawi dalam keterlibatan mereka di Muhammadiyah. Justru sebaliknya, tidak hanya waktu dan tenaga yang nantinya akan dikorbankan, bahkan harta sekalipun harus dengan rela dikorbankan untuk menghidupi Muhammadiyah.

 

Koreksi atas Kesalahpahaman

Dalam implementasinya di lapangan, kalimat tersebut seringkali disalahgunakan atau disalahpahamkan. Misalnya yang pernah kami dengar dari guru Muhammadiyah, langsung dari yang bersangkutan. Bahwa saat guru tersebut, yang mengabdi pada sekolah Muhammadiyah yang besar dan mapan, dengan siswa yang banyak dan SPP yang relatif mahal, kemudian ‘memprotes’ gaji guru yang dirasa masih kecil, lalu dijawab oleh sang kepala sekolah dengan mengutip pernyataan KH. Ahmad Dahlan di atas. Hal ini sangatlah tidak tepat dan menyalahi konteks. AUM yang menjadi sumber pendapatan dan memiliki manajemen profesional, harus tetap bahkan wajib hukumnya memperhatikan kesejahteraan para pegawainya. Sebuah institusi yang berlandaskan nilai-nilai Islam harus mengutamakan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial dalam pengelolaannya.

Ini sejalan dengan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000. Pada Pedoman Kehidupan Dalam Mengelola Amal Usaha yang terdiri dari 13 poin tersebut pada poin yang ke-7 PHIWM telah menegaskan prinsip keseimbangan antara etos pengabdian dan kesejahteraan. Di sana disebutkan bahwa “Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usaha Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku). Untuk itu setiap pimpinan Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan.”

Artinya pengelola AUM berhak mendapatkan nafkah yang wajar sesuai dengan kemampuan institusi dan tetap mengedepankan prinsip keadilan, yaitu nafkah yang diberikan disesuaikan dengan tupoksi atau tangung jawab masing-masing. Hal ini dapat menjadi pedoman untuk memastikan keberlangsungan lembaga tanpa mengabaikan hak-hak individu yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu, pengelolaan AUM tidak hanya berorientasi pada profesionalisme tetapi juga tetap menjaga nilai-nilai Islam yang mendasari Muhammadiyah. Keberimbangan antara hak dan kewajiban ini adalah ikhtiar untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan memotivasi setiap elemen lembaga untuk berkontribusi dengan lebih optimal.

Selain poin 7, pada PHIWM tentang Mengelola Amal Usaha pada poin 10 menambahkan bahwa, “Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, dan bersikap berlebihan.”

Mari kita garisbawahi di antara bagian penting dari poin 10 ini, yaitu, “Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak”. Dari sini dapat dengan jelas kita baca bahwa karyawan AUM juga berhak mendapatkan kesejahteraan yang layak, tanpa kehilangan rasa syukur dan tetap menghindari ketidakpuasan yang berlebihan. Maka konsekuensinya, para pengelola dan pimpinan AUM harus memastikan keseimbangan antara semangat perjuangan dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawan. Dengan demikian, etos kerja yang baik akan lebih mudah terbangun dan produktivitas akan semakin meningkat.

Prinsip ini memberikan jalan tengah yang adil antara idealisme dakwah dan kebutuhan hidup yang sifatnya praktis. Dalam konteks sekolah/AUM kecil yang masih merangkak, mungkin dengan siswa yang hanya sedikit dan itu pun tidak memungut biaya, maka semangat perjuangan tanpa orientasi pada gaji semata menjadi hal yang penting. Namun untuk AUM yang sudah besar dan mapan, tuntutan kesejahteraan pekerja adalah wujud dari tanggung jawab dan penghormatan atas jasa mereka. Hal ini juga menjadi bukti bahwa nilai-nilai keadilan yang diusung Muhammadiyah dalam PHIWM benar-benar diwujudkan dalam praktiknya.

 

Contoh Nyata dalam Implementasi

KH. Syukriyanto bin AR Fachrudin pernah mengisahkan bahwa pada kisaran tahun 1921 M KH. Ahmad Dahlan pernah melelang seluruh barang di rumahnya untuk menggaji guru dan membiayai sekolah Muhammadiyah, menginspirasi warga Kauman yang kemudian membeli barang-barangnya namun mengembalikannya setelah dilelang. Uang hasil lelang sebesar lebih dari 4.000 gulden disumbangkan sepenuhnya ke kas Muhammadiyah, meski kebutuhan awal hanya 500 gulden. Tindakan ini mencerminkan semangat pengorbanan KH. Ahmad Dahlan dan kekompakan warga dalam mendukung perjuangan Muhammadiyah untuk pendidikan, sekaligus menjadi teladan bagi prinsip pengabdian tanpa pamrih.

Dengan melelang semua harta demi kepentingan Persyarikatan, KH. Ahmad Dahlan menunjukkan bahwa membesarkan Muhammadiyah adalah panggilan pengabdian, bukan sarana mencari keuntungan pribadi. Tindakan para warga yang membeli barang-barangnya dan mengembalikan hasil lelang untuk Muhammadiyah juga mencerminkan solidaritas terhadap nilai perjuangan ini. Prinsip ini menjadi fondasi etos kerja Muhammadiyah, bahwa kontribusi terhadap Persyarikatan harus didasari keikhlasan dan komitmen pada misi dakwah.

Pada kesempatan yang lain KH. AR Fachrudin juga pernah memberikan contoh nyata implementasi prinsip ini. Sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah, beliau tetap aktif mengelola bisnisnya untuk menopang kehidupannya sambil membesarkan Muhammadiyah. Sikap ini menunjukkan bahwa semangat dakwah tidak harus mengorbankan kesejahteraan pribadi secara mutlak. Namun, bagi mereka yang menjadi pekerja di AUM, kewajiban Muhammadiyah adalah memastikan mereka tidak terlantar dan memiliki hak-hak dasar yang terpenuhi.

 

Meneguhkan Kembali Prinsip Dakwah Muhammadiyah

Pernyataan KH. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” tetap relevan dalam konteks dakwah dan perjuangan Muhammadiyah hingga hari ini. Tetapi harus ditempatkan dalam kerangka yang benar. Dalam pengelolaan AUM, semangat perjuangan dan profesionalisme harus berjalan seiring dan berdampingan. Warga AUM didorong untuk menjaga semangat pengabdian tanpa melupakan tanggung jawab terhadap kesejahteraan orang-orang yang berkontribusi di dalamnya.

Para pegawai yang mengabdi di AUM, khususnya dalam hal ini penulis berada di AUM pendidikan seperti SMP, semua warga di dalamnya harus memahami bahwa AUM merupakan sarana dakwah dan perjuangan Muhammadiyah, pendukung, dan penggeraknya. Oleh karena itu, dengan niat beribadah kepada Allah SWT, loyalitas mereka juga harus ditujukan kepada lembaga. Mereka diharapkan meniatkan perjuangan lillahi ta’ala untuk membesarkan AUM dalam rangka mendukung dakwah Muhammadiyah di waktu yang sama. Bukan sekadar memanfaatkannya sebagai tempat mencari nafkah semata. Kehadiran mereka sebaiknya disertai dengan kontribusi nyata berupa tenaga dan pemikiran untuk membesarkan Muhammadiyah dengan membesarkan AUM, bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban kerja formal semata.

Dengan memahami dan meneguhkan nilai ini, Amal Usaha Muhammadiyah dapat terus menjadi lembaga yang kokoh, tidak hanya dalam menghidupkan dakwah Muhammadiyah, tetapi juga dalam memberikan kesejahteraan yang adil bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagai penutup, penulis mempunyai satu kalimat yang bisa melengkapi atau menyempurnakan pesan KH. Ahmad Dahlan di atas. “Bekerjalah di Muhammadiyah dan besarkanlah Muhammadiyah dengannya!”. Wallahul Musta’an


*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No. 12/XXII | Desember 2024 M/Jumadil Akhir 1446 H