Muhammad Nasri Dini
Guru SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) merupakan wujud nyata dari dakwah Peryarikatan Muhammadiyah di berbagi bidang, termasuk di dalamnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Sekolah, rumah sakit, panti asuhan, BMT, koperasi, hingga universitas adalah beberapa di antara pilar gerakan dakwah yang dibangun untuk melayani umat dengan semangat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sebagaimana dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000, pada Pedoman Kehidupan dalam Mengelola Amal Usaha poin 2 secara tegas disebutkan bahwa, “Amal Usaha Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan, dan Persyarikatan bertindak sebagai badan hukum/yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan Persyarikatan hendaknya dapat diinvestarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan pengelola amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang dan tingkatan berkewajiban menjadikan amal usaha dan pengelolaannya secara keseluruhan sebagai amanat umat yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya”.
Klaim Kepemilikan AUM
AUM merupakan manifestasi dakwah Persyarikatan. Maka mengelola atau memimpin AUM bukan sekadar tanggung jawab yang ringan. Ini adalah ladang dakwah sekaligus amal jariyah. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi bagian dari AUM, baik di depan layar sebagai pengelola atau pimpinan AUM, maupun di belakang layar sebagai pimpinan Muhammadiyah yang membawahi AUM tersebut, maka ia sejatinya telah menjadi bagian dari misi besar Muhammadiyah. Oleh karena itu, mengelola AUM seharusnya diiringi dengan semangat untuk membesarkan dakwah Islam.
Namun dalam perjalanannya, muncul beberapa tantangan internal yang menguji keikhlasan dan komitmen kita dalam menjaga marwah AUM. Mulai dari klaim kepemilikan pribadi, dominasi non-struktural, hingga kepemimpinan yang jauh dari sentuhan ideologi Muhammadiyah. Tulisan sederhana ini mencoba mengulas prinsip-prinsip utama yang harus dijaga dalam kepemilikan dan pengelolaan AUM menurut PHIWM.
Pertama, AUM adalah milik Persyarikatan. Salah satu prinsip paling mendasar yang disebutkan pada pedoman mengelola AUM dalam PHIWM di atas adalah bahwa AUM adalah milik Persyarikatan Muhammadiyah, bukan milik pribadi, keluarga pendiri, donator atau kelompok tertentu. Persyarikatan bertindak sebagai badan hukum resmi atas seluruh AUM. Oleh karena itu, segala bentuk aset, baik tanah, bangunan, maupun fasilitas lainnya, harus tercatat secara sah dan legal atas nama Persyarikatan Muhammadiyah, sehingga dilindungi dari klaim pihak luar.
Sangat disayangkan, jika menilik kondisi di lapangan, ada beberapa pihak yang justru menjadikan AUM sebagai alat pengaruh, memperlakukannya seperti milik warisan, atau bahkan mewariskan jabatan pengelolaan secara turun-temurun. Hal ini bertentangan dengan prinsip kolektif kolegial Persyarikatan dan berpotensi menimbulkan fitnah serta keretakan internal.
Kedua, Kepemimpinan AUM adalah amanah, bukan hak pribadi. Kepemimpinan dalam AUM bukanlah hak milik, melainkan amanah yang diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan sesuai dengan jenjangnya. Oleh karena itu, setiap pimpinan AUM harus tunduk dan loyal terhadap kebijakan Peryarikatan, serta tidak boleh menjadikan posisinya sebagai alat kekuasaan atau sumber keuntungan pribadi.
Ini sejalan dengan panduan pengelolaan AUM poin 3 yang disebutkan dalam PHIWM, bahwa “Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan amanat”.
Seorang pimpinan AUM yang benar adalah mereka yang menyadari bahwa jabatannya bersifat sementara dan harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada Persyarikatan, tetapi juga kepada Allah SWT. Jabatan bukan untuk dikekalkan, tetapi untuk dilaksanakan dengan integritas, kompetensi, dan keikhlasan. Edukasi dan penyadaran tentang kepemilikan AUM kepada warga dan para pimpinan Muhammadiyah tentu menjadi sangat penting, agar tidak ada pihak-pihak yang merasa “memiliki” AUM secara pribadi.
Ketiga, Keanggotaan dan kekaderan adalah syarat mutlak kepemimpinan AUM. Pimpinan AUM haruslah kader Muhammadiyah yang memiliki keahlian di bidang AUM yang dikelolanya. Keanggotaan ini bukan sekadar status administratif, tetapi menunjukkan komitmen ideologis dan kesetiaan terhadap tujuan Persyarikatan. Tanpa status keanggotaan dan kekaderan, akan sulit memastikan bahwa pimpinan memahami arah gerakan, manhaj, dan semangat dakwah Muhammadiyah.
Sebagaimana dalam panduan mengelola AUM pada PHIWM poin 4 disebutkan bahwa, “Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut. Karena itu, status keanggotaan dan komitmen pada misi Muhammadiyah menjadi sangat penting bagi pimpinan tersebut, agar yang bersangkutan memahami secara tepat fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan. Dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan Persyarikatan.”
Lebih dari itu, selain keanggotaan Muhammadiyah harus mengikat seorang pimpinan AUM, ia harus benar-benar dicelup dengan sentuhan perkaderan Muhammadiyah agar terus dapat berjalan dalam budaya yang sesuai dengan manhaj Muhammadiyah yang mengutamakan amanah, keikhlasan, bukan semata-mata profesionalisme kosong. Kaderisasi pimpinan AUM yang serius dan berkelanjutan dalam perkaderan formal seperti Darul Arqom maupun Baitul Arqom tentu harus dijalankan oleh pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan, agar dapat benar-benar mencetak pimpinan AUM yang tidak hanya profesional tetapi juga sekaligus ideologis.
Keempat, Transparansi dan akuntabilitas adalah keniscayaan. Pengelolaan AUM, khususnya dalam hal keuangan dan aset, harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada beberapa kasus AUM yang bermasalah adalah karena penyimpangan, atau ketergelinciran pimpinan AUM dalam hal keuangan. Maka pimpinan AUM wajib membuat laporan berkala dan bersedia diaudit oleh Pimpinan Persyarikatan sesuai wewenangnya. Audit dan pengawasan bukanlah bentuk ketidakpercayaan, melainkan wujud dari sistem yang sehat dan terjaga dari penyalahgunaan wewenang.
Hal ini sesuai dengan pedoman pengelolaan AUM poin ke-8 dalam PHIWM, yang berbunyi, “Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan/kekayaan kepada pimpinan Persyarikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit serta mendapatkan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku”.
Jika seorang pimpinan menutup diri dari pengawasan, atau bahkan merasa terganggu dengan sistem kontrol organisasi, maka itu menunjukkan bahwa ada yang keliru atau diselewengkan dalam pengelolaannya. Pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan (PPM, PWM, PDM, PCM, PRM) sebagai otoritas organisasi harus benar-benar serius dalam pengawasan dan pembinaan AUM secara tegas dan konsisten.
Teladan Para Pendahulu: Amanah Tanpa Warisan
Sejak awal berdirinya Muhammadiyah, para pemimpin kita telah memberi teladan yang agung tentang makna amanah, keikhlasan dan kepemimpinan tanpa pamrih pribadi. KH Ahmad Dahlan, sang pencerah pendiri Persyarikatan, pelatak dasar kepemimpinan Muhammadiyah tidak mewariskan kekuasaan, pengaruh, atau harta milik Persyarikatan kepada anak-anaknya sendiri.
Padahal beliau memiliki keluarga, anak-anak, dan keturunan yang sampai sekarang masih bisa kita temui. Namun dalam jejak sejarah Muhammadiyah, tidak pernah kita jumpai kisah bahwa sekolah yang beliau dirikan diwariskan kepada anaknya, atau rumah sakit yang beliau gagas dijadikan milik keluarganya. Semua amal usaha yang beliau rintis diserahkan kepada Persyarikatan Muhammadiyah, sebagai amanah kolektif umat, bukan warisan keluarga.
Jejak ini dilanjutkan oleh para pimpinan setelahnya. Apakah kita mendengar KH. Mas Mansur, Buya AR Fachruddin, bahkan hingga Prof. Din Syamsuddin mewariskan jabatan atau AUM kepada anak atau kerabat mereka? Tidak. Mereka memimpin Muhammadiyah dengan semangat “lillahita'ala”, bukan “lil diri sendiri” atau “lil keluarga”. Bahkan dari mereka justru kita melihat bahwa Persyarikatan dipastikan tidak menjadi milik pribadi siapa pun.
Inilah ruh yang membedakan Muhammadiyah dengan beberapa organisasi lain: tidak ada dinasti, tidak ada pewarisan kekuasaan, tidak ada penguasaan AUM secara pribadi. Semua kembali kepada prinsip Persyarikatan: musyawarah, kolektif kolegial, dan berbasis sistem, bukan figur.
Jika ada di antara kita yang mulai merasa bahwa AUM ini “milik saya”, “hasil perjuangan bapak saya”, “peninggalan keluarga saya”, maka kita sejatinya telah menyimpang dari manhaj para salaf dalam Muhammadiyah. Kita bukan lagi pembela Persyarikatan, tapi pelan-pelan sedang menjadi perusaknya. Karena sejatinya Muhammadiyah tidak membutuhkan pewaris, tetapi membutuhkan pelanjut perjuangan. Bukan siapa anak siapa, tetapi siapa yang mampu dan amanah.
Penutup: AUM sebagai Amanah dan Ladang Dakwah
AUM bukan tempat mencari pengaruh, jabatan, atau materi. Ia adalah amanah besar dari umat yang dipercayakan kepada Persyarikatan Muhammadiyah untuk dikelola secara jujur dan profesional dalam rangka untuk melayani umat. Siapa pun yang diberi amanah untuk memimpin AUM, hendaknya menyadari bahwa ia sedang memikul beban perjuangan, bukan sekadar pekerjaan.
Sebagaimana pesan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil...” (QS. An-Nisa’ [4]: 58). Wallahu a’lam bish shawab.
*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Shafar 1447 H / Agustus 2025 M
Tidak ada komentar: