Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

Khutbah Jumat: Kemerdekaan dalam Islam


ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ

ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻻَ ﺗَﻤُﻮْﺗُﻦَّ ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻣُّﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ، ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ

Jamaah jum’at rahimakumullah,
Sebentar lagi kita akan memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan adalah nikmat besar dari Allah, yang wajib kita syukuri. Namun, Islam mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, melainkan bebas dari segala bentuk aktifitas yang menjauhkan dari Allah.

Pertama, merdeka dari kesyirikan. Hakikat kemerdekaan yang paling agung adalah ketika seorang hamba hanya tunduk, patuh, dan menyembah Allah semata. Allah ﷻ berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah selain Allah, (sembahan) yang tidak dapat mengabulkan (doa)-nya sampai hari Kiamat." (QS. Al-Ahqaf [46]: 5)

Syekh Ibnu Utsaimin berkata: "Menjadi hamba Allah adalah kemerdekaan yang hakiki. Barangsiapa tidak menghamba kepada Allah, dia akan menjadi hamba kepada selain-Nya."

Kedua, merdeka dari hawa nafsu. Seorang merdeka sejati adalah yang tidak diperbudak oleh hawa nafsunya. Allah ﷻ berfirman:

فَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

"Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah." (QS. Shad [38]: 26)

Ketiga, merdeka dari fitnah dunia. Hidup dunia penuh dengan ujian harta, jabatan, dan kesenangan yang menipu. Allah ﷻ berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

"Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS. Al-Hadid: 20)

Maka jamaah jum’at rahimakumullah, kemerdekaan sejati adalah saat seorang Muslim bebas dari belenggu syirik, hawa nafsu, dan godaan dunia yang menyesatkan.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Khutbah Kedua

ٱلْـحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَالَمِينَ، وَٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلَامُ عَلَىٰ أَشْرَفِ ٱلْأَنْبِيَاءِ وَٱلْمُرْسَلِينَ، وَعَلَىٰ آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِينَ، أَمَّا بَعْدُ

Jamaah jum’at rahimakumullah, ketahuilah, kemerdekaan yang kita rayakan hanyalah semu bila hati kita masih terikat pada syirik, hawa nafsu, dan cinta dunia yang berlebihan. Tidak ada kemerdekaan sejati, kecuali jika kita menjadi hamba Allah semata. Rasulullah ﷺ bersabda,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، وَالدِّينَارِ

"Celakalah wahai budak dirham dan dinar." (HR. Al Bukhari)

Semoga Allah ﷻ menguatkan iman kita hingga akhir hayat, dan mengumpulkan kita kelak bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shaleh. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ

اللَّهُمَّ أَعِزَّالْإِسْلَامَا وَ الْمُسلِمِين وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ

اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْنَ المُجَاهِدِينَ وَاْلمُسْتَضْعَفِيْنَ فِي فِلَسْطِين

اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْنَ المُجَاهِدِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ وَزَمَانٍ

رَبَّنَا اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ اٰمِنًا وَّاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ اَنْ نَّعْبُدَ الْاَصْنَامَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى، والتُّقَى، والعَفَافَ، والغِنَى

اللَّهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


Menjaga Amanah dalam Kepemimpinan AUM


Muhammad Nasri Dini

Guru SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo


Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) merupakan wujud nyata dari dakwah Peryarikatan Muhammadiyah di berbagi bidang, termasuk di dalamnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Sekolah, rumah sakit, panti asuhan, BMT, koperasi, hingga universitas adalah beberapa di antara pilar gerakan dakwah yang dibangun untuk melayani umat dengan semangat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sebagaimana dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000, pada Pedoman Kehidupan dalam Mengelola Amal Usaha poin 2 secara tegas disebutkan bahwa, “Amal Usaha Muhammadiyah adalah milik Persyarikatan, dan Persyarikatan bertindak sebagai badan hukum/yayasan dari seluruh amal usaha itu, sehingga semua bentuk kepemilikan Persyarikatan hendaknya dapat diinvestarisasi dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku. Karena itu, setiap pimpinan dan pengelola amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang dan tingkatan berkewajiban menjadikan amal usaha dan pengelolaannya secara keseluruhan sebagai amanat umat yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya”.

Klaim Kepemilikan AUM
AUM merupakan manifestasi dakwah Persyarikatan. Maka mengelola atau memimpin AUM bukan sekadar tanggung jawab yang ringan. Ini adalah ladang dakwah sekaligus amal jariyah. Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi bagian dari AUM, baik di depan layar sebagai pengelola atau pimpinan AUM, maupun di belakang layar sebagai pimpinan Muhammadiyah yang membawahi AUM tersebut, maka ia sejatinya telah menjadi bagian dari misi besar Muhammadiyah. Oleh karena itu, mengelola AUM seharusnya diiringi dengan semangat untuk membesarkan dakwah Islam.
Namun dalam perjalanannya, muncul beberapa tantangan internal yang menguji keikhlasan dan komitmen kita dalam menjaga marwah AUM. Mulai dari klaim kepemilikan pribadi, dominasi non-struktural, hingga kepemimpinan yang jauh dari sentuhan ideologi Muhammadiyah. Tulisan sederhana ini mencoba mengulas prinsip-prinsip utama yang harus dijaga dalam kepemilikan dan pengelolaan AUM menurut PHIWM.

Pertama, AUM adalah milik Persyarikatan. Salah satu prinsip paling mendasar yang disebutkan pada pedoman mengelola AUM dalam PHIWM di atas adalah bahwa AUM adalah milik Persyarikatan Muhammadiyah, bukan milik pribadi, keluarga pendiri, donator atau kelompok tertentu. Persyarikatan bertindak sebagai badan hukum resmi atas seluruh AUM. Oleh karena itu, segala bentuk aset, baik tanah, bangunan, maupun fasilitas lainnya, harus tercatat secara sah dan legal atas nama Persyarikatan Muhammadiyah, sehingga dilindungi dari klaim pihak luar.
Sangat disayangkan, jika menilik kondisi di lapangan, ada beberapa pihak yang justru menjadikan AUM sebagai alat pengaruh, memperlakukannya seperti milik warisan, atau bahkan mewariskan jabatan pengelolaan secara turun-temurun. Hal ini bertentangan dengan prinsip kolektif kolegial Persyarikatan dan berpotensi menimbulkan fitnah serta keretakan internal.

Kedua, Kepemimpinan AUM adalah amanah, bukan hak pribadi. Kepemimpinan dalam AUM bukanlah hak milik, melainkan amanah yang diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan sesuai dengan jenjangnya. Oleh karena itu, setiap pimpinan AUM harus tunduk dan loyal terhadap kebijakan Peryarikatan, serta tidak boleh menjadikan posisinya sebagai alat kekuasaan atau sumber keuntungan pribadi.
Ini sejalan dengan panduan pengelolaan AUM poin 3 yang disebutkan dalam PHIWM, bahwa “Pimpinan amal usaha Muhammadiyah diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Persyarikatan dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pimpinan amal usaha dalam mengelola amal usahanya harus tunduk kepada kebijaksanaan Persyarikatan dan tidak menjadikan amal usaha itu terkesan milik pribadi atau keluarga, yang akan menjadi fitnah dalam kehidupan dan bertentangan dengan amanat”.
Seorang pimpinan AUM yang benar adalah mereka yang menyadari bahwa jabatannya bersifat sementara dan harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada Persyarikatan, tetapi juga kepada Allah SWT. Jabatan bukan untuk dikekalkan, tetapi untuk dilaksanakan dengan integritas, kompetensi, dan keikhlasan. Edukasi dan penyadaran tentang kepemilikan AUM kepada warga dan para pimpinan Muhammadiyah tentu menjadi sangat penting, agar tidak ada pihak-pihak yang merasa “memiliki” AUM secara pribadi.

Ketiga, Keanggotaan dan kekaderan adalah syarat mutlak kepemimpinan AUM. Pimpinan AUM haruslah kader Muhammadiyah yang memiliki keahlian di bidang AUM yang dikelolanya. Keanggotaan ini bukan sekadar status administratif, tetapi menunjukkan komitmen ideologis dan kesetiaan terhadap tujuan Persyarikatan. Tanpa status keanggotaan dan kekaderan, akan sulit memastikan bahwa pimpinan memahami arah gerakan, manhaj, dan semangat dakwah Muhammadiyah.
Sebagaimana dalam panduan mengelola AUM pada PHIWM poin 4 disebutkan bahwa, “Pimpinan amal usaha Muhammadiyah adalah anggota Muhammadiyah yang mempunyai keahlian tertentu di bidang amal usaha tersebut. Karena itu, status keanggotaan dan komitmen pada misi Muhammadiyah menjadi sangat penting bagi pimpinan tersebut, agar yang bersangkutan memahami secara tepat fungsi amal usaha tersebut bagi Persyarikatan. Dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli dengan tugas-tugas dan kepentingan Persyarikatan.”
Lebih dari itu, selain keanggotaan Muhammadiyah harus mengikat seorang pimpinan AUM, ia harus benar-benar dicelup dengan sentuhan perkaderan Muhammadiyah agar terus dapat berjalan dalam budaya yang sesuai dengan manhaj Muhammadiyah yang mengutamakan amanah, keikhlasan, bukan semata-mata profesionalisme kosong. Kaderisasi pimpinan AUM yang serius dan berkelanjutan dalam perkaderan formal seperti Darul Arqom maupun Baitul Arqom tentu harus dijalankan oleh pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan, agar dapat benar-benar mencetak pimpinan AUM yang tidak hanya profesional tetapi juga sekaligus ideologis.

Keempat, Transparansi dan akuntabilitas adalah keniscayaan. Pengelolaan AUM, khususnya dalam hal keuangan dan aset, harus dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada beberapa kasus AUM yang bermasalah adalah karena penyimpangan, atau ketergelinciran pimpinan AUM dalam hal keuangan. Maka pimpinan AUM wajib membuat laporan berkala dan bersedia diaudit oleh Pimpinan Persyarikatan sesuai wewenangnya. Audit dan pengawasan bukanlah bentuk ketidakpercayaan, melainkan wujud dari sistem yang sehat dan terjaga dari penyalahgunaan wewenang.
Hal ini sesuai dengan pedoman pengelolaan AUM poin ke-8 dalam PHIWM, yang berbunyi, “Pimpinan amal usaha Muhammadiyah berkewajiban melaporkan pengelolaan amal usaha yang menjadi tanggung jawabnya, khususnya dalam hal keuangan/kekayaan kepada pimpinan Persyarikatan secara bertanggung jawab dan bersedia untuk diaudit serta mendapatkan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku”.
Jika seorang pimpinan menutup diri dari pengawasan, atau bahkan merasa terganggu dengan sistem kontrol organisasi, maka itu menunjukkan bahwa ada yang keliru atau diselewengkan dalam pengelolaannya. Pimpinan Muhammadiyah di berbagai tingkatan (PPM, PWM, PDM, PCM, PRM) sebagai otoritas organisasi harus benar-benar serius dalam pengawasan dan pembinaan AUM secara tegas dan konsisten.

Teladan Para Pendahulu: Amanah Tanpa Warisan
Sejak awal berdirinya Muhammadiyah, para pemimpin kita telah memberi teladan yang agung tentang makna amanah, keikhlasan dan kepemimpinan tanpa pamrih pribadi. KH Ahmad Dahlan, sang pencerah pendiri Persyarikatan, pelatak dasar kepemimpinan Muhammadiyah tidak mewariskan kekuasaan, pengaruh, atau harta milik Persyarikatan kepada anak-anaknya sendiri.
Padahal beliau memiliki keluarga, anak-anak, dan keturunan yang sampai sekarang masih bisa kita temui. Namun dalam jejak sejarah Muhammadiyah, tidak pernah kita jumpai kisah bahwa sekolah yang beliau dirikan diwariskan kepada anaknya, atau rumah sakit yang beliau gagas dijadikan milik keluarganya. Semua amal usaha yang beliau rintis diserahkan kepada Persyarikatan Muhammadiyah, sebagai amanah kolektif umat, bukan warisan keluarga.
Jejak ini dilanjutkan oleh para pimpinan setelahnya. Apakah kita mendengar KH. Mas Mansur, Buya AR Fachruddin, bahkan hingga Prof. Din Syamsuddin mewariskan jabatan atau AUM kepada anak atau kerabat mereka? Tidak. Mereka memimpin Muhammadiyah dengan semangat “lillahita'ala”, bukan “lil diri sendiri” atau “lil keluarga”. Bahkan dari mereka justru kita melihat bahwa Persyarikatan dipastikan tidak menjadi milik pribadi siapa pun.
Inilah ruh yang membedakan Muhammadiyah dengan beberapa organisasi lain: tidak ada dinasti, tidak ada pewarisan kekuasaan, tidak ada penguasaan AUM secara pribadi. Semua kembali kepada prinsip Persyarikatan: musyawarah, kolektif kolegial, dan berbasis sistem, bukan figur.
Jika ada di antara kita yang mulai merasa bahwa AUM ini “milik saya”, “hasil perjuangan bapak saya”, “peninggalan keluarga saya”, maka kita sejatinya telah menyimpang dari manhaj para salaf dalam Muhammadiyah. Kita bukan lagi pembela Persyarikatan, tapi pelan-pelan sedang menjadi perusaknya. Karena sejatinya Muhammadiyah tidak membutuhkan pewaris, tetapi membutuhkan pelanjut perjuangan. Bukan siapa anak siapa, tetapi siapa yang mampu dan amanah.

Penutup: AUM sebagai Amanah dan Ladang Dakwah
AUM bukan tempat mencari pengaruh, jabatan, atau materi. Ia adalah amanah besar dari umat yang dipercayakan kepada Persyarikatan Muhammadiyah untuk dikelola secara jujur dan profesional dalam rangka untuk melayani umat. Siapa pun yang diberi amanah untuk memimpin AUM, hendaknya menyadari bahwa ia sedang memikul beban perjuangan, bukan sekadar pekerjaan.
Sebagaimana pesan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil...” (QS. An-Nisa’ [4]: 58). Wallahu a’lam bish shawab.

*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Shafar 1447 H / Agustus 2025 M

Iran vs Israel dan Peluang Palestina Merdeka



Andika Rahmawan

Guru SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo,

Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PDM Sukoharjo

 

Pendahuluan

Dalam beberapa waktu terakhir, dunia dikejutkan oleh eskalasi militer yang sangat serius antara Republik “Islam” Iran dan Negara Zionis Israel. Serangan rudal balistik, drone, serta ancaman perang terbuka telah menjadi pemandangan yang menghiasi tajuk utama berbagai media. Namun di balik hiruk-pikuk ini, penting bagi umat Islam untuk bersikap jernih dan tidak terbawa arus informasi yang simpang siur atau propaganda dari kedua belah pihak. Sebab, apa yang sedang terjadi sebenarnya bukanlah konflik antara kebenaran dan kebatilan yang hitam-putih, tetapi dua kekuatan yang kelihatan sedang bertempur tersebut sebenarnya sama-sama memiliki rekam jejak penuh kezaliman terhadap Islam dan kaum muslimin.

Israel jelas adalah penjajah yang telah mencengkeram tanah Palestina selama lebih dari tujuh dekade. Kejahatannya terhadap rakyat Palestina bukan hanya soal perampasan dan pendudukan tanah, tetapi juga pengusiran dan genosida membabi buta yang memuncak pada dua tahun terakhir ini. Sementara Iran, meskipun dalam narasi politiknya sering mengangkat isu membela Palestina, tetapi tidak sedikit umat Islam yang menyadari bahwa negeri itu berada dalam ideologi Syiah Rafidah yang jelas menyimpang dari akidah Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dukungan Iran terhadap Palestina bisa jadi bukan karena ukhuwah islamiyah, tetapi bagian dari strategi politik regional dan kepentingan pemasaran ideologi.

 

Israel dan Kejahatan Penjajahan

Israel adalah simbol nyata dari kolonialisme modern yang masih berlangsung hingga hari ini. Berdiri dan tinggal di atas tanah rampasan, dengan darah dan air mata rakyat Palestina, negara ini telah berkali-kali melanggar hukum internasional dan resolusi PBB tanpa pernah benar-benar dikenai sanksi berarti. Wilayah Palestina sedikit demi sedikit terus dirampas, permukiman baru ilegal terus menerus dibangun, rakyat Palestina yang hanya tersisa di Gaza dan Tepi Barat hidup dalam tekanan ekonomi dan militer yang mencekik. Bahkan tempat suci umat Islam, Masjid Al-Aqsha, tak luput dari penodaan oleh tentara dan ekstremis Yahudi.

Perjuangan untuk kemerdekaan Palestina hakikatnya bukan hanya perjuangan Hamas semata, bukan pula kewajiban satu organisasi, atau bahkan satu negara. Perjuangan ini seharusnya menjadi kewajiban umat Islam seluruh dunia dalam membela tanah suci ketiga umat Islam, dan menegakkan keadilan atas nama kemanusiaan. Namun sayangnya, banyak negara hanya menjadikan isu Palestina sebagai alat kampanye politik atau pencitraan global. Termasuk Israel sendiri, yang selalu menggunakan narasi “hak untuk membela diri” sebagai stempel legalisasi untuk membantai warga sipil, anak-anak, dan perempuan Palestina.

 

Syiah Iran dan Agenda Geopolitik Berkedok Palestina

Di sisi lain, Iran juga tak layak dijadikan simbol perjuangan Islam. Meskipun kerap menyuarakan dukungan terhadap Hamas dan kelompok perlawanan Palestina, tujuan utama Iran bukanlah membebaskan Al-Quds, tetapi memperluas pengaruh ideologis dan politiknya di kawasan. Iran mendukung milisi-milisi bersenjata yang sama-sama mempunyai ideologi Syiah di Suriah, Yaman, Irak dan Lebanon. Artinya Iran bukan semata-mata membela umat Islam, tetapi untuk memperluas jangkauan revolusi Syiahnya yang berakar pada konsep wilayatul faqih, sebuah sistem kepemimpinan teokratis Syiah yang tidak dikenal dalam ajaran Islam Ahlus Sunnah.

Iran selama ini juga banyak terlibat dalam konflik internal dunia Islam yang berujung pada pertumpahan darah sesama muslim. Perannya dalam membantu rezim diktator Bashar al-Assad di Suriah misalnya, telah menyebabkan jutaan rakyat muslim ahlus sunnah terbunuh, terusir, dan menderita. Maka dari itu, mendukung Iran sama halnya dengan mendukung ekspansi paham sesat Syiah yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Bahkan, hubungan Iran dengan kelompok-kelompok militan di berbagai belahan dunia seringkali justru memperkeruh konflik sektarian.

 

Iran vs Israel: Pertikaian Dua Penghancur

Dengan mempertimbangkan kedua latar belakang di atas, dapat dikatakan bahwa perang antara Iran dan Israel bukanlah perang antara haq dan batil dalam pengertian Islam yang hakiki. Ini adalah konflik antara dua kekuatan yang sama-sama penuh ambisi, penuh kepalsuan dalam narasinya, dan sama-sama memiliki sejarah gelap terhadap umat Islam.

Ironisnya, sebagian umat Islam kadang terbawa euforia seolah-olah Iran sedang menjadi pelindung umat dan pahlawan Islam dalam melawan penjajah. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, serangan Iran ke Israel lebih bermotifkan balas dendam atau upaya menunjukkan kekuatan militer di kawasan. Iran ingin menunjukkan bahwa ia adalah penguasa militer utama di Timur Tengah, bukan karena kepedulian terhadap Gaza khususnya atau rakyat Palestina pada umumnya.

Begitu pula Israel, yang memanfaatkan konflik ini untuk mendapatkan simpati global dan justifikasi untuk memperluas perang. Mereka berusaha mengalihkan perhatian dunia dari kekejamannya di Gaza dan mempermainkan narasi keamanan nasional untuk mendulang bantuan militer dan dukungan politik dari negara-negara Barat.

 

Sisi Positif Bagi Palestina

Namun, dalam situasi penuh kemunafikan dan kepalsuan ini, Allah SWT tetap menunjukkan Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Terkadang, dua kejahatan yang saling menghancurkan dapat menjadi angin segar bagi kebaikan. Perang antara Iran dan Israel, jika berkembang menjadi konflik terbuka dan meluas, dapat menyebabkan kerugian besar bagi keduanya. Jika Israel mengalami kerusakan serius, kekuatan militernya di Palestina bisa berkurang. Jika Iran melemah, dukungan terhadap milisi-milisi Syiah di kawasan pasti juga dapat menyusut.

Ini bisa menjadi momentum bagi rakyat Palestina dan kelompok pejuang Islam yang benar-benar lurus untuk menguatkan barisan, menyusun strategi, dan membangun kekuatan diplomasi dan militernya dari dalam. Dunia internasional juga bisa lebih terbuka untuk mengkaji ulang dukungan mereka terhadap Israel ketika melihat bahwa negara tersebut tidak kebal terhadap serangan dan tekanan dari luar.

Selain itu, konflik ini juga bisa memecah konsentrasi Israel, membuat mereka harus membagi fokus dan sumber daya militernya, yang sebelumnya terpusat pada Gaza dan Tepi Barat. Ketika dua kekuatan besar yang saling bermusuhan sibuk menghancurkan satu sama lain, maka ruang akan terbuka bagi kekuatan-kekuatan baru yang lebih adil dan membela hak-hak rakyat tertindas di Palestina.

 

Sikap Umat Islam

Dalam kondisi seperti ini, umat Islam tidak boleh terjebak dalam fanatisme buta atau euforia politik sesaat. Kita tidak boleh mendukung Iran hanya karena mereka memusuhi Israel, karena permusuhan terhadap kezaliman tidak serta-merta menjadikan seseorang dalam kebenaran. Pun kita tidak boleh menganggap bahwa semua musuh Israel adalah teman kita. Sebagaimana pepatah mengatakan: “Musuh dari musuhku belum tentu adalah temanku”.

Umat Islam harus mengambil sikap kritis, objektif, dan berdasarkan ilmu. Kita wajib mendukung siapa pun yang memperjuangkan kebenaran dan sebaliknya menentang siapa pun yang menegakkan dan membela kezaliman, apapun suku, negara dan agamanya.

 

Sikap Ideal Pemerintah Indonesia

Dalam konteks ini, bagaimana sebaiknya sikap pemerintah Indonesia? Idealnya, Indonesia tetap konsisten mendukung perjuangan Palestina sebagai bangsa yang terjajah. Namun dalam konstelasi politik global, manuver diplomatik kadang menuntut pilihan strategis. Indonesia dengan mayoritas rakyatnya sebagai penganut Islam Ahlus Sunnah bisa saja memberikan dukungan kepada Iran, bukan karena ideologi Syiah-nya, tapi karena potensinya untuk melemahkan Israel, bisa saja menjadi pilihan yang strategis. Tentu dengan tetap menjaga jarak terhadap ideologi Syiah dan menegaskan bahwa dukungan tersebut hanya dalam konteks konflik geopolitik, bukan atas dasar solidaritas agama.

Indonesia juga perlu menguatkan diplomasi Islamnya, membangun kerja sama dengan negara-negara muslim yang benar-benar berpihak pada Palestina dan menjauhi sektarianisme. Perlu dibangun aliansi politik berbasis akidah Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah yang murni dan tidak tercemar ambisi kekuasaan atau fanatisme buta. Indonesia bisa menginisiasi gerakan nyata untuk kemerdekaan Palsetina di antaranya melalui OKI, atau dengan diplomasi langsung dengan negara-negara muslim yang punya kekuatan besar seperti Arab Saudi, Turki, juga Mesir.

 

Penutup

Perang memang bukanlah hal yang kita harapkan, apalagi ketika korban utamanya adalah rakyat sipil yang tak berdosa. Namun dalam sejarah umat manusia, sering kali konflik antar penguasa tiran justru membuka jalan bagi kebangkitan kebenaran. Kita berharap bahwa perang Iran-Israel ini akan saling melemahkan dua kekuatan yang selama ini banyak menumpahkan darah kaum muslimin, dan pada saatnya nanti, Palestina dapat meraih kemerdekaan yang sejati. Bukan karena bantuan dari Iran, bukan pula karena belas kasih Israel, tapi karena bersatunya umat Islam sendiri yang berjuang dengan ikhlas, mujahadah dan istiqamah di atas kebenaran. Wallahul Musta’an


*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Shafar 1447 H / Agustus 2025 M

Memaknai Kemerdekaan dalam Perspektif Islam

 

Sebentar lagi, bangsa kita akan memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Ini bukan sekadar perayaan seremonial, tapi momen untuk merenungkan kembali makna kemerdekaan, terutama sebagai seorang Muslim yang sekaligus warga negara Indonesia.

 

1. Kemerdekaan adalah Rahmat Allah, Maka Jangan Mengisinya dengan Laknat-Nya

Kemerdekaan bukan semata hasil jerih payah manusia, tetapi lebih dari itu, merupakan anugerah dari Allah . Sebagaimana termaktub dalam alenia ke-3 Pembukaan UUD 1945, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

 

Allah berfirman:

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim [14]: 7)

 

Kemerdekaan adalah nikmat besar dari Allah ﷻ. Maka janganlah kita isi kemerdekaan ini dengan maksiat, kemalasan, atau budaya yang menjauhkan kita dari Islam. Kita tidak layak membalas rahmat Allah dengan perbuatan yang mengundang laknat-Nya.

 

2. Para Pahlawan Menyemangati Perjuangan dengan Kalimat Thayyibah

Dalam perjuangan merebut kemerdekaan, para pejuang kita tidak lepas dari semangat tauhid. “Allahu Akbar!” adalah salah satu yang lantang diteriakkan oleh para pejuang.

“Andai tidak ada kalimat Takbir, saya tidak tahu dengan apa membakar semangat para pemuda melawan penjajah.” (Bung Tomo)

Selain itu ada pula pekikan “Merdeka atau Mati!” sebagai bentuk keyakinan bahwa hidup mulia lebih utama daripada hina di bawah penjajahan, dan merebut kemerdekaan harus dilakukan sekuat tenaga bahkan jika mati adalah taruhannya. Perkataan ini sejalan dengan ungkapan “Isy Kariman aw Mut Syahidan” yang berarti “Hidup Mulia atau Mati Syahid”. Sebuah ungkapan yang konon pernah disampaikan oleh Ibunda Asma binti Abu Bakar kepada putranya Abdullah bin Zubair agar tetap semangat berperang membela kebenaran sampai titik darah penghabisan.

Semangat itu masih relevan hari ini, hidup mulia sebagai umat yang taat kepada Allah ﷻ, atau kita mati dalam perjuangan menegakkan kebenaran.

 

3. Dulu Ada Londo Ireng, Sekarang pun Masih Ada

Saat penjajahan dulu, ada para penghianat dari kalangan pribumi yang berada di barisan Belanda, sering disebut sebagai “londo ireng”. Hari ini pun para penghianat yang datang dari sesama bangsa sendiri tetap masih ada, yang menjual kehormatan, memecah persatuan, bahkan menjajah rakyatnya sendiri dengan berbagai cara. Salah satu ucapan Presiden Soekarno yang relevan dengan hal ini adalah, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”

Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Hasyr [59]: 19)

 

Jangan sampai kita lupa bahwa kita adalah anak bangsa Indonesia, dan justru memilih menjadi orang-orang fasik, penghianat bangsa yang malah menindas saudaranya sendiri dengan berperan sebagai “Londo Ireng” di era kemerdekaan, penjajah berdarah pribumi.

 

4. Merdeka Karena Persatuan, Jangan Mudah Dipecah Belah

Kemerdekaan ini terwujud karena persatuan ulama dan umara, santri dan petani, rakyat dan tentara. Maka jangan pernah mau dipecah belah, oleh kepentingan politik sesaat, atau fanatisme kelompok yang sempit. Rasulullah bersabda:

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Sesungguhnya orang mukmin satu dan lainnya bagaikan suatu bangunan yang saling menguatkan satu dan lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

5. Palestina Pernah Membantu Kita, Mari Kita Bantu Mereka

Jangan lupa, meskipun masih berada di bawah pendudukan Inggris dan Zionis Yahudi, Palestina adalah di antara bangsa yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia. Mufti besar Palestina Muhammad Amin Al Husaini melalui siaran radio di Berlin Jerman pada 6 September 1944 menyatakan pengakuan kepada kemerdekaan Indonesia dan mengajak bangsa Arab dan Islam untuk melakukan hal yang sama. Bahkan saudagar kaya asal Palestina Muhammad Ali Taher menyumbangkan dana untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Kini, saat mereka dijajah dan disakiti, mari kita bantu dengan doa, dana, dan dukungan moral. Jangan hanya bangga atas kemerdekaan kita, tapi tidak peduli atas penderitaan Bangsa Palestina.

Selain Palestina, Mesir juga memberikan dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia, atas dorongan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin pada masa itu. Perlu diketahui bahwa Ikhwanul Muslimin merupakan embrio dari Gerakan Hamas di Palestina. Maka, jika ada anak bangsa yang justru menyalahkan Hamas atas apa yang terjadi di Palestina, tentu hal ini sangat disayangkan dan mencerminkan kurangnya pemahaman sejarah serta dinamika perjuangan umat Islam.

 

Penutup

Mari kita isi kemerdekaan ini dengan amal shalih, dengan menjaga persatuan, dan menegakkan nilai-nilai Islam. Merdeka bukan hanya bebas dari penjajah asing, tapi juga bebas dari kebodohan, kemalasan, korupsi, perpecahan dan maksiat serta dosa lainnya.

Semoga Allah ﷻ senantiasa menjaga negeri kita, dan memerdekakan saudara-saudara kita di Palestina dan seluruh negeri tertindas.

 

رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا الْبَلَدَ اٰمِنًا وَّاجْنُبْنِيْ وَبَنِيَّ اَنْ نَّعْبُدَ الْاَصْنَامَ ۗ

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala.” (QS. Ibrahim [14]: 35)