Oleh: Muhammad Nasri Dini
Wakil Sekretaris Pimpinan Daerah Pemuda
Muhammadiyah (PDPM) Sukoharjo;
Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo
“Sungguh Allah sangat mengagumi seorang pemuda
yang tidak menyimpang dari kebenaran.” (HR. Ahmad)
Pemuda adalah
bara dan bahan bakar perubahan. Seperti pernah dikatakan oleh Ir. Sukarno, “Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Kalimat dari Bung Karno tersebut sama sekali tidak mengada-ada,
karena dalam usia yang menyimpan
semangat, keberanian dan idealisme, yang menjadikannya kerap menjadi lokomotif
sejarah. Namun dalam pusaran kekuasaan, bara itu bisa dengan cepat berubah jadi
abu, membara hanya sesaat, lalu padam karena ujian kenyamanan. Dalam konteks
ini, kita akan membaca bahwa Pemuda Muhammadiyah sebagai bagian penting dari
kekuatan moral bangsa saat ini tengah menghadapi ujian terbesarnya.
Sejak didirikan
pada 2 Mei 1932 M, Pemuda Muhammadiyah bukan hanya wadah kaderisasi
intelektual, tetapi juga pembentukan karakter, militansi dakwah, dan
keberpihakan pada kaum mustadh’afin. Tahun ini, usianya telah sampai pada
tahun ke93. Artinya Pemuda Muhammadiyah sebagai bagian dari organisasi otonom
Persyarikatan Muhammadiyah, telah lama dikenal sebagai garda terdepan dalam
dunia pergerakan, dakwah, dan perjuangan kebangsaan. Perjalanan panjang usia
menuju satu abad itu, telah melahirkan banyak tokoh yang mewarnai ruang-ruang
pergerakan.
Namun, usia gerakan
tak selalu seiring dengan kedewasaan para penggeraknya. Tantangan zaman
menuntut Pemuda Muhammadiyah untuk terus menegaskan identitas dan posisinya,
terutama ketika banyak kader yang kini sudah berada di dalam lingkaran
kekuasaan. Bagaimana menjaga nilai-nilai kritis dan independensi kader ketika
mereka mulai akrab dengan ruang-ruang elite kekuasaan?
Jargon “Pemuda Negarawan”
Beberapa tahun
terakhir, jargon “Pemuda Negarawan” digaungkanseakan sebagai identitas baru
gerakan. Tanwir II Pemuda Muhammadiyah di Jambi, 4-6 Maret 2022mengusung tema
“Gerakan Pemuda Negarawan”. Kemudian Tanwir I Pemuda Muhammadiyah di Jakarta, 21-23
November 2024 mengangkat tema “Kolaborasi Pemuda Negarawan untuk Indonesia
Maju”.
Pemuda
Muhammadiyah mendefinisikan ada lima poin rumusan Pemuda Negarawan: Pertama,
memiliki integritas dan kapasitas untuk mengajarkan dan mengamalkan Islam yang
tengahan (wasathiyah); Kedua, berpandangan nasionalis-religius
dan menjadi garda depan dalam mengawal kepentingan bangsa dan negara dengan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika; Ketiga,
mengedepankan nilai etik politik kenegaraan yang menjadi ciri khas Muhammadiyah;
Keempat, bertanggung jawab dalam meraih dan mengawal kekuasaan demi
kesejahteraan masyarakat; dan Kelima, berperan aktif dalam menyuarakan
isu-isu internasional.
Sebuah langkah
penting untuk membawa semangat pemuda menuju kematangan politik dan visi
kebangsaan.Namun penulis merasa agak janggal dengan poin empatdalam rumusan tersebut,
yaitu “bertanggung jawab dalam meraih dan mengawal kekuasaan demi
kesejahteraan masyarakat”. Meski secara konseptual terdengar mulia, justru
menjadi titik rawan untuk disalahpahami dan diselewengkan. Frase ini berpotensi
membuka celah normalisasi keterlibatan kekuasaan tanpa batas, sehingga
menjadikan Pemuda Muhammadiyah rawan terjebak dalam prgmatisme politik praktis.
Kata “meraih dan
mengawal kekuasaan” bisa dengan mudah dimaknai sebagai pembenaran untuk ambisi
individual atau kelompok. Jika tidak disertai batas tegas antara ranah
kekuasaan dan independensi gerakan, maka justru jargon ini berbalik menjadi
legitimasi bagi kader-kader yang masuk kekuasaan tapi enggan mundur dari
struktur organisasi. Akibatnya, sifat kritis menjadi tumpul dan Pemuda
Muhammadiyah bisa kehilangan ruhnya sebagai kekuatan moral.
Ketika
idealisme gerakan berhadapan langsung dengan realitas kekuasaan, nyatanya banyak
yang rontok. Kader yang dulu vokal di mimbar amar makruf nahi munkar, kini
mulai kompromi di ruang rapat. Kritik berubah menjadi narasi justifikasi.
Semangat perjuangan terkikis oleh kepentingan elektoral dan pragmatisme partai.
Kita tidak
menutup mata, hari ini cukup banyak kader Pemuda Muhammadiyah khususnya maupun
Muhammadiyah pada umumnya yang menempati jabatan strategis: sebagai anggota
legislatif, menteri, wakil menteri, staf khusus, juru bicara menteri, hingga
masuk ke dalam partai politik. Tentu ini sebuah capaian. Tapi apakah idealisme
dan keberpihakan mereka tetap hidup dan utuh? Atau justru luluh oleh
kepentingan?
Kaderisasi Kuat, Tapi Rentan Godaan
Kita tidak
kekurangan sistem kaderisasi. Pemuda Muhammadiyah punya tradisi pengaderan yang
berjenjang, sistematis dan ideologis di antaranya dalam Baitul Arqam tingkat
Dasar, Madya, Paripurna (BAD-BAM-BAP). Namun godaan kekuasaan selalu punya
jalan sendiri. Kader yang dulu lantang membela rakyat, mengoreksi kemungkaran
penguasa kini sibuk mengamankan posisi. Mereka yang dahulu menjadi oposisi kini
justru menjadi bagian dari status quo. Tak usah menyebut nama, kita akan dengan
mudah menemukan banyak nama di sana.
Ini bukan
sekadar soal dimana posisi diri, tapi soal arah perjuangan yang seharusnya
abadi. Ketika loyalitas terbelah antara gerakan dan partai, ketika suara kritis
dibungkam oleh kue jabatan, maka idealisme Pemuda Muhammadiyah bisa
terancam.Maka, dibutuhkan kesadaran kolektif: bahwa posisi bukan tujuan akhir,
tapi sarana untuk memperjuangkan nilai.
Menjadi Negarawan: Cerdas dan Berani
Pemuda Negarawan
bukanlah mereka yang pandai bermain kuasa, tapi mereka yang berpikir jangka
panjang, berpegang pada nilai, dan setia pada rakyat. Pemuda Muhammadiyah harus
berani melahirkan generasi seperti ini, tak hanya cakap secara intelektual,
tapi juga tangguh secara moral.
Maka idealnya
Pemuda Muhammadiyah sebagai gerakan harus benar-benar menjaga jarak struktural
dari kekuasaan agar daya kritisnya tetap hidup dan tidak terkooptasi oleh
kepentingan politik jangka pendek. Independensi organisasi adalah pondasi moral
yang memungkinkan Pemuda Muhammadiyah tetap menjadi kekuatan penekan (pressure
group) yang bebas bersuara dan tetap leluasa berpihak pada rakyat tanpa
beban loyalitas ganda.
Oleh karena
itu, jika ada personil Pemuda Muhammadiyah yang memasuki jabatan eksekutif
seperti menteri, staf kepresidenan, dan posisi strategis lain dalam
pemerintahan, maka seyogyanya ia melepaskan jabatannya di struktural Pemuda
Muhammadiyah. Ini bukan soal pribadi, tapi soal menjaga marwah gerakan agar
tidak berubah menjadi alat kekuasaan, melainkan tetap menjadi penyeru kebenaran
dan keadilan di tengah masyarakat.
Kita butuh gerakan
pemuda yang istiqamah berani berkata,“Qulil haqqo walau kaana murron” (katakan
yang benar meski pahit). Bukan yang sibuk menyesuaikan diri demi aman jabatan.Pemuda
Muhammadiyah tak boleh berubah menjadi lembaga stempel kekuasaan. Ia harus tetap
menjadi penjaga moral (moral compass) yang tidak tunduk pada elite, tapi
menundukkan elite kepada nilai kebenaran.
Gerakan Independen, Penyambung Suara Rakyat
Pemuda
Muhammadiyah adalah gerakan independen. Ia tidak berafiliasi pada partai, tidak
dikendalikan oleh kepentingan politik jangka pendek. Ia memiliki rumah sendiri
dan tidak tunduk pada partai atau kekuatan politik manapun. Prinsip ini harus
dijaga secara ketat, terlebih oleh para kader yang kini memiliki akses pada
ruang-ruang kebijakan. Karena prinsip ini adalah benteng terakhir agar gerakan
ini tidak dijinakkan oleh unsur politis.
Namun
independensi tidak berarti menjauh dari politik. Sebaliknya, ia berarti memiliki
kebebasan untuk bersuara: bebas dari, untuk bebas demi. Bebas dari tekanan, demi
keberpihakan kepada rakyat.Independensi bukan berarti apatis, tapi berarti memiliki
kebebasan bersuara tanpa intervensi. Pemuda Muhammadiyah harus tetap memiliki
kekuatan dalam menekan setiap kebijakan yang merugikan rakyat dan negara.
Poin pertama
pedoman Kehidupan dalam Berbangsa dan Bernegara pada Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah(PHIWM) disebutkan bahwa, “Warga Muhammadiyah perlu mengambil
bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui
berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam
bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsi etika/akhlak Islam dengan
sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat utama yang diridlai Allah SWT.”
Bahaya laten
kita hari ini adalah saat kader berada dalam dua dunia, ketika loyalitas kader
terpecah: satu kaki di gerakan, satu kaki di partai atau kekuasaan. Jika itu
tidak dikawal, maka Pemuda Muhammadiyah secara organisasi hanya akan menjadi
penonton dalam panggung kekuasaan yang dulunya ingin ia ubah.Akibatnya,
orientasi gerakan jadi kabur. Kritis di internal, lunak di eksternal. Ini yang
harus dicegah sejak awal.
Harapan
Sampai
saat ini, Muhammadiyah sudah melahirkan lima dokumen khittah, yaitu: (a)
Khittah Palembang 1956-1959; (b) Khittah Ponorogo 1969; (c) Khittah Ujung
Pandang 1971; (d) Khittah Surabaya 1978; dan (e) Khittah Denpasar 2002. Dari
kelima Khittah tersebut, Khittah Denpasar adalah yang dianggap paling mewakili. Di dalamnya menegaskan bahwa Persyarikatan tidak berafiliasi dengan
partai politik manapun, namun tetap memiliki peran strategis dalam membangun bangsa
melalui dakwah amar makruf nahi munkar dan penguatan masyarakat sipil. Prinsip
ini harus menjadi pondasi bagi Pemuda Muhammadiyah dalam mengusung jargon
“Pemuda Negarawan”.
Pemuda Muhammadiyah (termasuk Persyarikatan Muhammadiyahsebagai induknya) harus teguh menjaga independensinya agar mampu terus bersikap kritis dan berpihak kepada suara rakyat, bukan larut dalam pragmatisme kekuasaan. Bila ada kader yang terjun ke dalam lingkar kekuasaan, maka secara etis dan organisatoris, ia perlu melepaskan posisinya di Pemuda Muhammadiyah agar tidak mencampuradukkan gerakan moral dengan kepentingan politik praktis. Dengan demikian, Pemuda Muhammadiyah dapat tetap menjadi penekan moral (moral force) dan bukan sekadar pelengkap dalam arena politik kekuasaan.Karena Pemuda Muhammadiyah bukan tempat singgah menuju jabatan. Ia adalah rumah bagi mereka yang ingin berjuang dengan tulus, berpihak dengan jelas, dan bersuara dengan lantang.Wallāhu a’lam.
Tidak ada komentar: