Pendidikan
Nasional: Kenapa Bukan Kiai Dahlan?
Pada masa KH. Ahmad Dahlan, ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Nusantara: satu berakar pada tradisi pesantren, satu lagi hasil impor dari Barat melalui kolonialisme Belanda. Pendidikan pesantren berpusat pada kajian kitab kuning, dengan fokus mutlak pada ilmu-ilmu keislaman. Tidak dikenal sistem ijazah, tidak pula rapor, apalagi kurikulum dalam pengertian formal modern. Santri menimba ilmu secara personal kepada kiai. Mereka menerima baik buruk hanya dari kiai, dengan sikap alergi terhadap apa pun yang datang dari luar tembok pesantren. Problem mendasar dari sistem ini ialah penolakan terhadap fasilitas modern, enggan beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan eksklusivitas yang menyempitkan wawasan.
Sebaliknya, pendidikan ala Barat, produk penjajah Belanda menawarkan wajah yang sepenuhnya berbeda. Sistem ini mengajarkan ilmu-ilmu sekuler, murni berorientasi pada rasionalitas, keilmuan teknis, dan keterampilan praktis yang dianggap mendukung roda kolonialisme. Metode, fasilitas, dan kurikulum mereka sudah modern menurut ukuran masa itu. Namun, di balik kemodernannya, sistem ini memisahkan agama dari pendidikan. Pelajaran agama absen dari kelas-kelas mereka. Hasilnya adalah lahirnya generasi intelektual sekuler, bahkan cenderung antipati terhadap Islam, yang ironisnya banyak menjadi perpanjangan tangan kolonial. Inilah paradoks besar: sekolah modern menjanjikan kemajuan, tetapi juga asing dari akar agama.
Di antara dua kutub ini, KH. Ahmad Dahlan mengambil jalan tengah yang revolusioner. Beliau mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan spirit keislaman dengan pendekatan modern. Beliau sadar, umat Islam tidak boleh hanya puas dengan penguasaan ilmu agama, tapi juga mesti menguasai ilmu-ilmu dunia untuk menjawab tantangan zaman. Inilah ruh utama Muhammadiyah sejak lahir: tajdid, pembaruan, yang berusaha mensinergikan wahyu dan akal, tradisi dan modernitas, agama dan sains. Di tangan Kiai Dahlan, sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tetapi juga medan dakwah, ladang jihad intelektual untuk membebaskan umat dari kebodohan.
Ketika membandingkan kiprah KH. Ahmad Dahlan dengan Ki Hajar Dewantara, muncul ironi sejarah. Ki Hajar diabadikan sebagai Bapak Pendidikan Nasional, tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Sementara KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, tidak mendapat tempat serupa dalam narasi besar pendidikan Indonesia. Padahal, secara kontribusi, gerakan pendidikan Muhammadiyah telah memberi dampak yang jauh lebih luas. Mengapa ini terjadi? Pertanyaan ini tidak sekadar soal popularitas, tapi lebih dalam menyangkut ideologi dan paradigma pendidikan yang diusung.
Ki Hajar Dewantara dan Perguruan Tamansiswa (1922) menekankan nasionalisme, cinta tanah air, sebagai fondasi utama pendidikan. Di sekolah-sekolah Tamansiswa, agama bukan menjadi ruh. Ideologi sekuler lebih diutamakan daripada spirit keagamaan. Hasilnya, Tamansiswa melahirkan kader-kader nasionalis yang gigih memperjuangkan kemerdekaan, tetapi minim kepekaan keagamaan. Dalam konteks itu, Ki Hajar memilih ideologi pendidikan sekuler. Pandangan inilah yang kemudian menjadi dasar ideologis penyelenggaraan pendidikan nasional pasca kemerdekaan hingga kini. Pendidikan nasional lebih banyak menempatkan nasionalisme di atas nilai-nilai agama. Seolah-olah nasionalisme dan agama berada dalam rel yang berbeda.
Di sisi lain, KH. Ahmad Dahlan membawa ideologi pendidikan berbasis tauhid. Pendidikan bagi beliau adalah jalan dakwah, sarana mengajarkan kebenaran, sekaligus membangun peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, sekolah-sekolah Muhammadiyah sejak awal bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menginternalisasikan ajaran Islam dalam setiap mata pelajaran dan aktivitas sekolah. Beliau mendirikan Kweekschool Muhammadiyah (sekarang Mu’allimin dan Mu’allimat) dengan visi menyiapkan kader-kader guru yang akan mendirikan sekolah di berbagai daerah. Strategi ini terbukti berhasil: sekolah-sekolah Muhammadiyah menjamur di seluruh pelosok Nusantara, bahkan di tempat-tempat yang belum terjamah pemerintah. Kini, jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah melampaui yang didirikan pemerintah, dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Namun, mengapa KH. Ahmad Dahlan tidak diakui sebagai Bapak Pendidikan Nasional? Mengapa tanggal lahirnya tidak dipilih sebagai Hari Pendidikan Nasional? Pertanyaan ini kembali mengarah pada ideologi. Keberpihakan negara pada tokoh pendidikan sekuler adalah konsekuensi logis dari pilihan ideologis yang sejak awal menempatkan agama di pinggiran. Negara lebih nyaman memajukan narasi sekuler daripada menonjolkan tokoh pendidikan Islam yang secara ideologis membawa misi dakwah. Meskipun gagasan pendidikan Kiai Dahlan sebenarnya jauh lebih progresif karena berusaha mensinergikan tauhid, ilmu, dan amal dalam sistem pendidikan, tetapi gagasan ini justru diabaikan dalam wacana resmi negara.
Ironi ini semakin jelas ketika melihat data empiris. Saat ini, jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang berada di bawah naungan Tamansiswa. Perguruan Muhammadiyah memiliki jaringan sekolah dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi, bahkan rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga sosial lain yang menopang kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya melayani kebutuhan pendidikan formal, tetapi juga kesehatan, sosial, dan ekonomi umat. Ini adalah kontribusi nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat, tidak hanya umat Islam. Namun, kontribusi sebesar ini tidak mendapatkan pengakuan proporsional dalam narasi sejarah pendidikan nasional.
Kesalahpahaman terhadap KH. Ahmad Dahlan juga muncul dari stigma bahwa beliau adalah tokoh “sektarian”. Karena mendirikan sekolah-sekolah Islam, mungkin saja beliau dianggap hanya berjuang untuk kepentingan umat Islam, bukan untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Padahal, fakta demografis menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim. Ketika KH. Ahmad Dahlan berjuang untuk memajukan pendidikan umat Islam, beliau sejatinya berjuang untuk lebih dari 90 persen rakyat Indonesia (Hindia-Belanda) pada masa itu. Perjuangan beliau adalah perjuangan mayoritas, bukan golongan sempit.
Sekolah-sekolah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan membawa konsep integrasi ilmu. Beliau mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islam, Hollands Inlandse School (HIS) met de Qur’an (SD Al-Qur’an), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) met de Qur’an (SMP Al-Qur’an), Qismul Arqa’, Suranatan Siang, dan lain sebagainya. Semua sekolah ini memadukan kurikulum umum model Belanda dengan kurikulum agama ala pesantren. Strategi ini menjadikan lulusan sekolah Muhammadiyah memiliki wawasan luas, menguasai ilmu pengetahuan umum, sekaligus kokoh dalam akidah. Inilah yang membedakan sekolah Muhammadiyah dengan sekolah pemerintah maupun pesantren tradisional.
Namun, justru karena memadukan agama dan ilmu, KH. Ahmad Dahlan dianggap sulit diterima dalam narasi sekuler nasionalisme. Pendidikan nasional yang cenderung menjauhkan agama dari ruang publik, apalagi menjadikan agama sebagai ruh pendidikan. Maka, tidak heran jika tokoh seperti Ki Hajar Dewantara lebih mudah diterima sebagai simbol pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan pengakuan bukan semata soal jasa, tetapi lebih kepada narasi ideologis yang dibangun negara.
Kritik terhadap pengabaian peran KH. Ahmad Dahlan bukanlah upaya menafikan jasa Ki Hajar Dewantara, melainkan ajakan untuk mengakui sejarah secara lebih adil. Pendidikan nasional seharusnya tidak hanya dibangun di atas ideologi sekuler, tetapi juga mengakui kontribusi besar tokoh-tokoh pendidikan Islam. Apalagi jika kontribusi itu telah memberi manfaat langsung kepada jutaan rakyat Indonesia. Gagasan pendidikan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi pembangunan pendidikan yang berkarakter, berakhlak, dan berlandaskan nilai-nilai Islam di masa kini.
Pada akhirnya, pendidikan adalah proyek jangka panjang untuk membangun peradaban. KH. Ahmad Dahlan telah memulai proyek besar itu dengan membangun sistem pendidikan yang integral, memadukan tauhid, ilmu, dan amal. Sekolah-sekolah Muhammadiyah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga medan dakwah, tempat penggemblengan karakter, dan sarana mempersiapkan kader umat dan kader bangsa. Kini, sudah saatnya negara memberikan pengakuan yang layak kepada beliau, tidak hanya sebagai tokoh Islam, tetapi juga sebagai tokoh pendidikan nasional. Karena pendidikan tanpa ruh agama hanyalah mesin produksi manusia tanpa arah. Dan bangsa tanpa arah, hanya akan berjalan menuju kehancuran.
Pengakuan ini penting bukan untuk KH. Ahmad Dahlan secara pribadi, karena beliau telah mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Pengakuan ini penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang menumbuhkan akal sekaligus menajamkan iman. Bahwa modernisasi tidak harus mengorbankan nilai-nilai Islam. Bahwa kemajuan bukan berarti melepaskan diri dari identitas keislaman. Seperti visi pendidikan yang diemban KH. Ahmad Dahlan: berkemajuan dalam tauhid, berkemajuan dalam ilmu, berkemajuan dalam amal.
Itulah warisan terbesar KH. Ahmad Dahlan untuk bangsa ini. Dan warisan itu akan terus hidup selama masih ada orang-orang yang setia melanjutkan perjuangan beliau, menghidupkan sekolah-sekolah beliau, menegakkan nilai-nilai beliau, dalam setiap kelas, setiap madrasah, setiap universitas, di bawah langit Indonesia di atas bumi nusantara. Selama itu pula, pendidikan Islam yang modern, inklusif, progresif, akan terus menjadi cahaya di tengah gelapnya zaman.
Comments