Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

Guru PAI SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Resmi Menikah


Sukoharjo – Keluarga besar SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo berbahagia atas pernikahan salah satu gurunya, Muhammad Fadli Hasyim, S.Pd, guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, dengan Nazakia Zulfa Hidayah, S.Pd.

Akad nikah dilaksanakan di kediaman mempelai perempuan pada Ahad, 7 September 2025, dalam suasana khidmat dan penuh doa. Selanjutnya, resepsi pernikahan ngunduh mantu digelar pada Selasa, 9 September 2025 di kediaman mempelai laki-laki, yang dihadiri oleh seluruh guru, karyawan serta perwakilan siswa SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo. Turut hadir pula Kepala Sekolah, Bapak Muhammad Fatkhul Hajri, S.Pd., M.Pd., beserta jajaran pimpinan sekolah.

Acara berlangsung penuh kehangatan dan kebersamaan. Kehadiran rekan sejawat, keluarga besar sekolah, serta doa yang dipanjatkan menambah kemeriahan sekaligus makna mendalam pada momen istimewa ini.

Kepala sekolah dalam kesempatan tersebut menyampaikan doa terbaik untuk kedua mempelai agar selalu diberkahi dalam membangun rumah tangga baru. “Semoga Allah memberikan keberkahan dan menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah,” ungkap beliau.

Keluarga besar SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo juga menyampaikan doa:
Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama'a bainakuma fi khair.

Selamat menempuh hidup baru Ustadz Fadli, semoga menjadi pasangan yang saling melengkapi dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

Pendidikan Islam di Era Digital: Antara Tantangan dan Peluang


Oleh: Muhammad Fatkhul Hajri, S.Pd., M.Pd.
Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo

Kita hidup dalam zaman yang serba cepat, serba digital dan terkoneksi bahkan hampir tanpa batas. Teknologi digital telah menyentuh nyaris pada semua aspek dalam kehidupan umat manusia, mulai dari cara kita berkomunikasi, bekerja, hingga belajar. Di tengah arus perubahan yang demikian pesat ini, pendidikan Islam juga turut dihadapkan pada realitas pilihan baru yang tidak mudah: harus beradaptasi atau jika tidak maka pasti akan tertinggal. Perubahan ini menuntut pendidikan Islam untuk tidak hanya mempertahankan cara-cara tradisional, tetapi juga mampu merumuskan ulang metode dan pendekatan agar tetap relevan dengan kebutuhan zaman.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana cara pendidikan Islam harus menjawab tantangan zaman ini? Apakah dunia digital menjadi ancaman bagi Pendidikan Islam atau justru menjadikan peluang semakin terbuka lebar untuk menyebarkan nilai-nilai Islam secara lebih luas, efektif dan tentu saja relevan? Jawaban atas pertanyaan ini tentu tidak sederhana, karena menyangkut kesiapan semua elemen dalam sebuah ekosistem pendidikan itu sendiri, mulai dari guru, kurikulum, hingga infrastruktur digital. Namun yang pasti, pendidikan Islam tidak boleh bersikap pasif dan mengalir saja di tengah arus perubahan yang terus bergerak maju.

Dalam sejarahnya, Islam justru sangat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa keemasan Islam, para ilmuwan muslim memadukan ilmu akhirat dan ilmu dunia, di antaranya dengan menerjemahkan karya-karya Yunani, mengembangkan observatorium, rumah sakit, hingga universitas. Dalam sejarah peradaban Islam, terdapat beberapa universitas tertua yang menjadi pusat keilmuan dan peradaban dunia. Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, yang didirikan pada tahun 859 M oleh Fatima Al-Fihri, diakui oleh UNESCO sebagai universitas tertua di dunia yang masih aktif hingga kini. Disusul oleh Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, yang berdiri pada tahun 970 M dan hingga hari ini tetap menjadi pusat pemikiran Islam Sunni yang sangat berpengaruh.

Selain itu, jaringan Universitas Nizamiyah yang mulai berdiri pada abad ke-11 di Baghdad juga memainkan peran penting, bahkan menjadi tempat mengajar Imam Al-Ghazali. Di Afrika Utara, Universitas Zaitunah di Tunisia telah berkembang sejak abad ke-8 menjadi pusat studi Islam dan bahasa Arab. Tak kalah penting adalah Universitas Mustansiriyah di Baghdad yang didirikan pada tahun 1227 M oleh Khalifah Al-Mustansir dari Dinasti Abbasiyah, yang menawarkan pendidikan dalam berbagai bidang, dari ilmu agama hingga kedokteran.

Keberadaan berbagai universitas Islam ini menunjukkan bahwa dunia Islam sejak dahulu telah menaruh perhatian yang besar pada ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi. Artinya, ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah hal baru dalam peradaban Islam. Yang berubah hanyalah bentuknya. Dulu akademisi muslim generasi awal mengenal kertas dan tinta, sekarang kita menggunakan layar dan koneksi internet. Tapi semangat dari semuanya sebenarnya masih tetap sama, yaitu menyampaikan ilmu dan menyebarkan kebaikan.

Salah satu keuntungan terbesar dari era digital adalah akses informasi yang begitu luas dan cepat. Di masa lalu, untuk membaca tafsir atau kitab kuning, seseorang harus pergi ke pesantren atau perpustakaan. Pada masa salaf bahkan harus melakukan perjalanan berhari-hari ‘hanya’ untuk mencari sebuah hadits. Sekarang, cukup membuka ponsel dan mencari lewat mesin pencari. Website-website keislaman, aplikasi mobile, channel YouTube, podcast, e-book, bahkan kelas daring kini menjamur. Santri, mahasiswa atau bahkan masyarakat umum bisa belajar agama dari manapun dan kapanpun. Ini adalah peluang emas untuk mendekatkan Islam kepada generasi muda yang sangat lekat dengan dunia digital. Meskipun idealnya guru tetap penting keberadaannya dalam membimbing belajar agama.

Lebih dari itu, pendidikan Islam bisa menjadi jauh lebih kreatif. Misalnya, pelajaran fikih bisa dibawakan dalam bentuk video atau animasi. Materi akhlak bisa diajarkan lewat cerita interaktif atau video dalam bentuk film pendek atau panjang. Bahkan sejarah Islam saat ini bisa kita tonton filmnya, seperti dalam film ‘Omar’, ‘Fetih’, atau yang lainnya. Semua ini bisa membuat pembelajaran lebih menarik dan mudah dipahami, khususnya bagi generasi netizen, yang mengandalkan semuanya dari hal-hal yang bersifat digital.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa di balik kemudahan digital, ada juga tantangan besar. Salah satunya adalah keaslian dari sebuah konten. Di media sosial, kita sering menemukan ceramah viral yang ternyata menyimpang dari kebenaran. Ada juga hadits palsu yang disebarkan tanpa verifikasi karena dianggap populer. Di sinilah pentingnya literasi digital. Literasi digital bukan hanya soal tahu cara memakai gadget, tapi juga mencakup kemampuan untuk memilah informasi, mengevaluasi sumber, serta menjaga etika dalam berinteraksi di dunia maya. Generasi muda harus dibekali kemampuan ini agar tidak tersesat dalam arus informasi yang membanjiri berbagai media.

Dalam konteks kehidupan keumatan yang semakin terbuka di era digital, tidak sedikit pula ormas Islam yang menjadi sasaran disinformasi atau hoaks yang menyesatkan. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, beberapa kali menjadi korban kabar bohong yang beredar luas di masyarakat. Mulai dari tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar soal sikap keagamaan hingga isu-isu politis yang sengaja disebarkan untuk membenturkan umat. Ada pula orang-orang dengan sikap pribadi menyimpang tapi dimaknai dengan sikap resmi organisasi. Hoaks semacam ini bukan hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga dapat merusak kepercayaan publik terhadap Muhammadiyah.

Hal ini menegaskan pentingnya literasi digital, khususnya dalam membekali umat agar lebih cermat dan kritis dalam menerima serta menyebarkan informasi di ruang digital. Lebih dari itu, masih ada tantangan kesenjangan akses. Tak semua wilayah di Indonesia punya internet yang stabil. Tak semua keluarga punya perangkat digital yang memadai. Maka, jangan sampai teknologi justru memperlebar kesenjangan pendidikan Islam.

Guru dan ustadz tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode ceramah konvensional. Mereka harus menjadi fasilitator belajar, bukan sekadar penyampai informasi. Teknologi harus dimanfaatkan untuk memperkaya pembelajaran, bukan menggantikannya. Lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga madrasah, harus mulai bertransformasi. Infrastruktur digital harus dibangun, pelatihan bagi guru harus diberikan, dan kurikulum harus disesuaikan agar tetap relevan dengan zaman. Misalnya, kurikulum bisa menambahkan pelajaran etika digital, kewargaan digital, dan pembuatan konten Islami. Ini penting agar generasi Muslim tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga produsen konten yang berkualitas dan bernilai dakwah.

Literasi digital menjadi kata kunci. Jika literasi digital ini dibangun dengan baik, maka teknologi bisa menjadi alat yang memperkuat, bukan merusak, pendidikan Islam. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain: Pertama, Mengajarkan pentingnya perlindungan data pribadi, agar tidak sembarangan membagikan informasi pribadi di internet; Kedua, Membangun kesadaran tentang hoaks dan berita palsu, terutama terkait konten-konten keagamaan; Ketiga, Menumbuhkan etika berinteraksi di dunia digital, karena akhlak tidak hanya berlaku di dunia nyata; Keempat, Mengajarkan siswa memilih sumber belajar yang kredibel, bukan hanya yang ramai dibicarakan; dan Kelima, Mendorong sikap toleran dan menghargai perbedaan, termasuk dalam diskusi daring. Kurikulum pendidikan Islam juga harus berani berubah. Ini bukan berarti mengganti nilai-nilai dasar ajaran Islam, melainkan menyajikannya dengan cara yang kontekstual dan relevan. Misalnya: Menyisipkan diskusi tentang penggunaan media sosial secara bijak dalam pelajaran akhlak; Membahas etika menonton konten keagamaan di YouTube dalam pelajaran fikih; dan Mengintegrasikan tugas membuat vlog dakwah atau infografik Islam sebagai bagian dari penilaian.

Dengan pendekatan seperti ini, siswa tidak hanya memahami Islam, tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilainya kepada khalayak yang lebih luas melalui media digital. Teknologi, jika digunakan dengan benar, bisa menjadi alat dakwah paling dahsyat di abad ini. Ceramah yang dulu hanya dihadiri puluhan orang, kini bisa ditonton jutaan orang lewat YouTube. Tulisan yang dulu hanya dibaca santri di pondok, kini bisa menjadi bahan diskusi global. Anak muda bisa berdakwah lewat Instagram, TikTok, bahkan game. Asalkan substansinya tetap kuat, dan disampaikan dengan cara yang kreatif dan sopan, Islam bisa tampil dengan wajah yang damai, cerdas, dan membumi.

Pendidikan Islam di era digital tidak bisa hanya berdiri di persimpangan dan ragu melangkah. Sudah waktunya untuk bergerak, berinovasi, dan beradaptasi. Tantangannya memang nyata, tetapi peluangnya jauh lebih besar. Kita punya modal: ajaran Islam yang kaya nilai, semangat guru dan pendidik yang luar biasa, serta generasi muda yang terbuka pada pembaruan. Yang dibutuhkan hanyalah sinergi antara lembaga pendidikan, pemerintah, ulama, orang tua, dan masyarakat. Jika itu bisa kita bangun, maka pendidikan Islam di era digital tidak hanya akan bertahan, tetapi akan tumbuh dan memberi cahaya bagi dunia yang kian gelap oleh disinformasi dan kekosongan makna.

*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Rabiul Awal 1447 H / September 2025 M

Muhammadiyah dan Tawasul


Muhammad Nasri Dini
Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Sukoharjo

Kenapa banyak kuburan orang-orang yang ditokohkan atau makam yang dikeramatkan ramai dikunjungi kaum muslimin? Di antaranya adalah karena banyak orang, termasuk di Indonesia, masih bersifat mistis dan magis daripada logis. Hal inilah yang menjadikan para pendongeng bisa bebas bercerita dengan kisah-kisah yang bagi orang-orang rasional, seperti Muhammadiyah, dianggap tidak masuk akal dan bahkan cenderung dapat dikategorikan sebagai takhayul dan khurafat.
Di antara motif orang-orang, kaum Muslimin tentu saja, datang ke kuburan orang shalih adalah untuk bertawasul. Dalam pandangan Muhammadiyah, praktik tawasul yang melibatkan orang yang sudah meninggal, seperti meminta pertolongan atau berdoa kepada penghuni makam, dapat mengarah pada perbuatan syirik, yang merupakan dosa besar dalam Islam.

Bagaimana Seharusnya?

Dalam Islam, tawasul merupakan metode berdoa di mana seseorang meminta kepada Allah SWT dengan memanfaatkan sebuah perantara atau wasilah. Dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, umat Islam mengenal konsep penting yang disebut tawasul. Istilah ini sebenarnya merupakan bagian dari pengamalan spiritual yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad SAW. Namun, agar tidak terjebak dalam praktik yang menyimpang, pemahaman terhadap tawasul perlu ditelaah secara mendalam berdasarkan dalil yang sahih dan penjelasan para ulama.
Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah [5]: 35)
Ayat ini menjadi landasan utama yang menegaskan bahwa setiap muslim diperintahkan untuk mencari jalan mendekat kepada Allah SWT dengan cara yang sesuai syariat. Dalam praktiknya, tawasul dilakukan ketika seseorang berdoa dan memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menyertakan perantara yang benar, agar doanya lebih mustajab.

Tawasul Menurut Muhammadiyah

Tanya Jawab Agama Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (2018) menyebutkan bahwa tawasul yang diperbolehkan adalah: (1) Tawasul kepada Allah dengan asma’ dan sifat-Nya; (2) Tawasul kepada Allah dengan iman dan amal shalih yang dilakukan; (3) Tawasul kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya; (4) Tawasul kepada Allah dengan menampakkan kelemahan dan kebutuhan kepada-Nya; (5) Tawasul kepada Allah dengan doa orang-orang shalih yang masih hidup; (6) Tawasul kepada Allah dengan mengakui dosa-dosa.
Menurut Muhammadiyah, tawassul dengan selain rincian di atas tidak diperbolehkan. Jika dirangkum, setidaknya ada tiga bentuk tawasul yang bisa dilaksanakan oleh seorang muslim menurut pandangan Muhammadiyah.

Pertama, Tawasul dengan Asmaul Husna. Tawasul dengan nama dan sifat Allah SWT berarti seorang hamba berdoa dengan menyebut nama-nama Allah yang indah (Asmaul Husna) atau sifat-Nya yang sesuai dengan kebutuhan doa.
Allah SWT berfirman, “Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik). Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)
Dalam praktiknya, seorang muslim dianjurkan menyebut nama Allah SWT yang relevan dengan doa yang sedang dipanjatkan atau sesuatu yang sedang dia hajatkan, misalnya “Ya Razzaq” untuk memohon rezeki, atau “Ya Ghaffar” untuk meminta ampunan. Dengan demikian, doa menjadi lebih bermakna karena sesuai dengan kebesaran Allah SWT yang sedang dipuji.

Kedua, Tawasul dengan Amal Shalih. Bentuk kedua adalah bertawasul dengan amal shalih pribadi, yaitu menyebutkan amal kebaikan yang pernah dilakukan dengan ikhlas, lalu menjadikannya sebagai perantara doa agar dikabulkan oleh Allah SWT.
Dalil yang paling masyhur dalam hal ini adalah hadis panjang dari Rasulullah SAW tentang tiga orang yang terjebak di dalam gua. Mereka berdoa kepada Allah SWT dengan menyebutkan masing-masing amal shalih yang pernah dilakukan, hingga akhirnya Allah SWT menolong mereka dengan memindahkan batu besar yang menutup gua.
Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian berangkat bepergian. Suatu saat mereka terpaksa bermalam di suatu gua, lalu mereka memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung dan menutup gua itu. Mereka berkata, ‘Tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari batu besar ini kecuali kita berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amalan baik kita.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah nyata dari Rasulullah SAW ini dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas dapat menjadi wasilah agar doa lebih mustajab. Amalan shalih khusus yang mungkin saja hanya diketahui oleh orang yang melakukan dan Allah SWT semata, sehingga terjaga dari niat yang tidak benar.

Ketiga, Tawasul dengan Doa Orang Shalih yang Masih Hidup. Bentuk ketiga adalah memohon doa dari orang shalih yang masih hidup agar ia mendoakan kebaikan bagi kita. Hal ini dibolehkan karena doa seorang Muslim untuk saudaranya adalah doa yang mulia dan mudah dikabulkan.
Hal ini seperti dicontohkan oleh ‘Umar bin Khattab RA yang pernah meminta doa kepada Al-‘Abbas bin Abdul Muthalib RA, paman Nabi SAW, setelah wafatnya Rasulullah SAW, “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR. Bukhari)
Di zaman ini, boleh seorang muslim meminta doa dari ulama, ustadz, atau kiai untuk keberhasilan suatu hajat. Namun, meminta doa dari orang yang sudah meninggal, termasuk di makam wali atau ulama, menurut Muhammadiyah tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan ajaran tauhid.

Larangan Menjadikan Kuburan sebagai Wasilah

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam Tanya Jawab Agama yang disidangkan pada hari Jum’at, 18 Rabiul Akhir 1434 H / 1 Maret 2013, pernah menerangkan bahwa dilarang meminta-minta kepada ahli kubur dan menjadikannya wasilah kepada Allah SWT. Satu hal yang menjadi pantangan ketika berziarah kubur, adalah meminta-minta kepada ahli kubur dan menjadikan mereka perantara kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Janganlah engkau sembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberi manfaat kepadamu dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu, sebab jika engkau lakukan (yang demikian itu), sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim.” (QS. Yunus [10]: 106)
Allah SWT juga menegaskan dalam firman-Nya yang lain, “Orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka, kecuali (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (QS. Az-Zumar [39]: 3)
Ayat ini menjelaskan bahwa siapa saja yang beralasan ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui perantara yang tidak dibenarkan syariat, termasuk ahli kubur, hakikatnya telah melakukan perbuatan syirik.
Sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang, banyak orang mengunjungi kuburan orang-orang tertentu, misalnya para wali. Kegiatan tersebut dapat digolongkan kepada perbuatan yang dilarang karena orientasi tujuannya sudah bergeser, bukan lagi untuk mendoakan dan bermuhasabah diri, tetapi lebih kepada meminta-minta.
Kewajiban seorang muslim terhadap orang lain yang sudah meninggal adalah mendoakan, bukan malah meminta pertolongan, karena hal itu mustahil. Para dai dan mubaligh Muhammadiyah sering memperingatkan bahwa praktik semacam ini, meskipun tampak sederhana, dapat mengarah pada syirik besar (syirkul akbar), yang membahayakan akidah seorang muslim.
Padahal, Rasulullah SAW tidak pernah mengkhususkan kuburan tertentu ketika beliau berziarah. Beliau menziarahi kuburan untuk mendoakan dan mengingat kematian, bukan menjadikan ahli kubur sebagai wasilah.

Penutup

Dengan memahami konsep tawasul secara benar, seseorang tidak hanya memperbaiki kualitas hubungannya dengan Allah SWT, tetapi juga memastikan bahwa ibadahnya tidak menyimpang dari jalur syariat. Maka, ketika kita berdoa dan bertawasul, marilah kita perhatikan dengan seksama. Jika semua itu sesuai dengan tuntunan Islam, insya Allah doa yang dipanjatkan akan sampai kepada-Nya dan dikabulkan oleh-Nya.
Konsep tawassul yang dipahami oleh Muhammadiyah menjelaskan bahwa tawassul yang disyariatkan meliputi: Pertama, tawassul dengan nama dan sifat Allah. Yaitu berdoa dengan menyebut nama dan sifat Allah SWT yang sesuai dengan permohonan; Kedua, tawassul dengan amal shalih. Yaitu memohon kepada Allah SWT dengan menyebutkan amal shalih pribadi yang pernah dilakukan; dan Ketiga, tawassul dengan doa orang shalih yang masih hidup. Meminta orang shalih yang masih hidup untuk mendoakan kebaikan bagi kita.
Muhammadiyah menolak tawassul yang tidak memiliki dasar dalam syariat, seperti tawassul dengan orang yang telah meninggal atau dengan zat makhluk. Karena semua bentuk ibadah harus berdasarkan dalil yang sahih dan sesuai dengan praktik generasi salafush shalih. Pendekatan ini merefleksikan pandangan Muhammadiyah tentang kesederhanaan dan keaslian dalam praktik ibadah.
Tawasul bukan sekadar ritual, tetapi sebuah jalan spiritual yang harus ditempuh dengan ilmu, iman, dan keikhlasan. Tawasul hanya akan bermakna ketika dilakukan sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam.


*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Rabiul Awal 1447 H / September 2025 M

Waktu dan Tata Cara Salat Gerhana Menurut Muhammadiyah



Fenomena gerhana matahari dan gerhana bulan selalu menjadi peristiwa langit yang memukau. Dalam pandangan Islam, peristiwa tersebut tidak sekadar fenomena astronomi, melainkan tanda kebesaran Allah SWT. Rasulullah SAW bahkan memberikan contoh ibadah khusus ketika terjadi gerhana, yaitu shalat gerhana.

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan bahwa shalat gerhana, baik shalat kusuf (gerhana matahari) maupun khusuf (gerhana bulan), termasuk sunnah muakkadah yang sangat dianjurkan. Landasannya bersumber dari hadis-hadis sahih yang menegaskan praktik Rasulullah SAW.

Dalil Shalat Gerhana

Hadis-hadis berikut menjadi dasar kuat disyariatkannya shalat gerhana:

  • Dari Aisyah r.a., Rasulullah SAW menjaharkan bacaan shalat gerhana, melaksanakan empat kali rukuk dan empat kali sujud dalam dua rakaat. (HR al-Bukhari dan Muslim)
  • Dari al-Mughirah bin Syu‘bah r.a., Rasulullah SAW menegaskan bahwa gerhana tidak terkait dengan hidup atau wafatnya seseorang, melainkan tanda kebesaran Allah. Karena itu, umat diperintahkan berdoa dan melaksanakan shalat hingga gerhana selesai. (HR al-Bukhari)
  • Dari Abu Mas‘ud r.a., Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak gerhana karena kematian seseorang, tetapi keduanya adalah tanda kebesaran Allah. Maka apabila kamu melihatnya, berdirilah dan kerjakan shalat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis pertama merupakan sunnah fi‘liyyah (contoh perbuatan Nabi), sedangkan hadis kedua dan ketiga tergolong sunnah qauliyyah (sabda Nabi). Keduanya memperkuat bahwa shalat gerhana adalah ibadah khusus.

Istilah Kusuf dan Khusuf

Dalam pembahasan fikih, istilah kusuf digunakan untuk gerhana matahari, khusuf untuk gerhana bulan, sedangkan kusufain merujuk pada keduanya. Pemahaman istilah ini penting karena sering muncul dalam literatur fikih.

Tata Cara Shalat Gerhana Menurut Tarjih Muhammadiyah
  1. Seruan Awal
    Shalat gerhana tidak diawali azan maupun iqamah, melainkan seruan “Ash-shalātu jāmi‘ah” (marilah kita shalat berjamaah).
  2. Rukun dan Urutan Shalat
    Shalat dikerjakan dua rakaat, masing-masing dengan dua kali rukuk dan dua kali sujud. Rinciannya:
    • Takbiratul ihram, doa iftitah, al-Fatihah, dan surat panjang dengan jahr.
    • Rukuk lama, kemudian i‘tidal.
    • Berdiri lagi, membaca al-Fatihah dan surat panjang (lebih pendek dari sebelumnya).
    • Rukuk kembali, i‘tidal, lalu sujud dua kali.
    • Rakaat kedua dilakukan dengan pola serupa, kemudian salam.
  3. Bacaan dalam Shalat
    Nabi SAW membaca surat panjang, seperti al-Baqarah atau yang setara, lalu pada berdiri kedua bacaan lebih pendek.
  4. Khutbah Setelah Shalat
    Imam menyampaikan khutbah sekali setelah salam dengan isi berupa pujian kepada Allah, penegasan bahwa gerhana bukan karena kelahiran atau kematian seseorang, serta seruan memperbanyak doa, istighfar, dzikir, dan sedekah.


Imam asy-Syafi‘i menegaskan setiap berdiri dalam shalat gerhana harus disertai bacaan al-Fatihah dan surat panjang. Ulama Maliki dan Hanbali juga menekankan hal serupa. Ibnu Qudamah menambahkan bahwa al-Fatihah tidak boleh ditinggalkan. Kesepakatan ini menunjukkan shalat gerhana memiliki kekhususan dibanding shalat sunnah lainnya.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana

Shalat gerhana dikerjakan sejak awal hingga gerhana selesai. Jika gerhana berakhir saat shalat masih berlangsung, shalat diteruskan dengan memperpendek bacaan. Tidak ada qadha setelah gerhana berakhir.

Siapa yang Disyariatkan Shalat Gerhana?

Shalat gerhana diperuntukkan bagi mereka yang menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu melihatnya, maka shalatlah.” Ibn Taimiyyah menegaskan shalat hanya dilakukan ketika benar-benar terjadi gerhana. Baik laki-laki maupun perempuan dianjurkan hadir dalam shalat ini.

Hikmah Shalat Gerhana

Shalat gerhana memiliki hikmah yang mendalam, di antaranya:

  • Meneguhkan tauhid dan keyakinan bahwa fenomena alam merupakan tanda kebesaran Allah.
  • Menjadi sarana muhasabah dengan memperbanyak doa, dzikir, dan amal kebajikan.
  • Melatih kesabaran melalui bacaan panjang, rukuk lama, dan sujud lama.
  • Membangun kesadaran sosial melalui seruan khutbah untuk memperbanyak sedekah.
Gerhana Bulan Total 7 September 2025

Fenomena gerhana bulan total akan terjadi pada Ahad malam Senin, 7 September 2025, mulai pukul 22.28 WIB, mencapai puncak pada 01.11 WIB, dan berakhir pada 03.55 WIB.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengimbau warga Muhammadiyah melaksanakan shalat khusuf di masjid atau lapangan, serta menjadikannya sebagai momentum edukasi astronomi, dakwah, dan penguatan ukhuwah Islamiyah.

Ikhtisar

Shalat gerhana merupakan tuntunan langsung Rasulullah SAW yang dikerjakan dua rakaat dengan empat rukuk dan empat sujud. Ibadah ini dilaksanakan selama gerhana berlangsung, tanpa azan dan iqamah, kemudian ditutup dengan khutbah singkat.

Fenomena gerhana mengingatkan bahwa matahari dan bulan hanyalah makhluk Allah SWT yang tunduk kepada-Nya. Karena itu, setiap Muslim dianjurkan menjadikan peristiwa ini sebagai sarana memperkuat tauhid, memperbanyak doa, dzikir, istighfar, serta amal kebajikan.

Sumber: PWM Jateng

Meneladani Rasulullah ﷺ dengan Menjaga Kehalalan Rezeki


Salah satu bentuk cinta para sahabat Nabi Muhammad ﷺ adalah kisah dari sahabat Tsaubān bin Bujdud رضي الله عنه yang terjadi ketika ia mendatangi Nabi Muhammad ﷺ dengan wajah muram dan sedih. Melihat kondisi ini, Nabi ﷺ bertanya: “Wahai Tsaubān, apa yang membuatmu gelisah?”

Tsaubān menjawab dengan suara lirih: “Wahai Rasulullah, ketika aku jauh darimu, hatiku merasa resah, dan aku sangat merindukanmu. Aku khawatir tentang nasibku di akhirat. Jika aku masuk surga, mungkin aku tidak bisa berada dekat denganmu, karena engkau pasti berada di tempat yang lebih tinggi bersama para nabi. Dan jika aku tidak masuk surga, maka aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi.”

Kata-kata Tsaubān ini sangat menyentuh hati Nabi Muhammad ﷺ. Tak lama kemudian, Allah ﷻ menurunkan wahyu yang memberikan ketenangan kepada Tsaubān, yaitu dalam firman-Nya:

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisā’ [4]: 69)

Dari kisah tersebut, kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebagai seorang muslim kita wajib mencintai Rasulullah ﷺ. Namun, cinta kepada beliau tidak cukup hanya diucapkan, melainkan harus diwujudkan dengan ketaatan. Salah satu bentuk ketaatan itu adalah dengan meneladani akhlak dan keseharian Nabi ﷺ.

Akhir-akhir ini kita sering mengelus dada melihat maraknya kasus korupsi yang melanda negeri kita. Oleh karena itu, salah satu keteladanan penting yang bisa kita ambil dari Rasulullah ﷺ adalah meneladani beliau dalam menjaga kehalalan apa yang kita konsumsi dan apa yang kita berikan kepada keluarga kita.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (HR. al-Bukhārī)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda:

إِنِّي لَأَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِي فَأَجِدُ التَّمْرَةَ سَاقِطَةً عَلَى فِرَاشِي فَأَرْفَعُهَا لِآكُلَهَا ثُمَّ أَخْشَى أَنْ تَكُونَ صَدَقَةً فَأُلْقِيهَا

“Saat aku pulang ke rumah, aku dapati sebutir kurma jatuh di atas tempat tidurku. Kemudian kurma itu kuambil untuk kumakan. Namun aku khawatir kurma itu adalah kurma sedekah (zakat), maka aku pun membuangnya.” (HR. al-Bukhārī 2431 dan Muslim 1070)

Masih dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata: Al-Hasan bin Ali رضي الله عنهما mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah ﷺ berkata: “Cih, cih!” yaitu mengeluarkan dan membuangnya. Kemudian beliau berkata: “Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta zakat?” (HR. al-Bukhārī 1491 dan Muslim 1069)

Diriwayatkan dari Abul Haura’, bahwa ia bertanya kepada Al-Hasan رضي الله عنه: “Adakah sesuatu yang engkau ingat dari Rasulullah ﷺ?” Al-Hasan menjawab: “Aku masih ingat, (yaitu) ketika aku mengambil sebiji kurma dari harta zakat, lalu aku masukkan ke dalam mulutku. Rasulullah ﷺ mengeluarkan kurma itu beserta saripatinya, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Ada yang berkata: ‘Wahai Rasulullah, tidaklah mengapa kurma itu dimakan oleh bocah kecil ini?’ Rasulullah ﷺ berkata: ‘Sesungguhnya, keluarga Muhammad tidak halal memakan harta zakat.’”

Selain meninggalkan keteladanan pada Rasulullah ﷺ, memakan harta haram juga berarti mendurhakai Allah ﷻ dan mengikuti langkah setan. Allah ﷻ berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata.” (QS. al-Baqarah [2]: 168)

Ada beberapa dampak jika kita memakan harta yang haram:

  1. Harta haram membuat malas beramal shaleh

يٰٓاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ۗ

“Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan beramallah shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mu’minūn [23]: 51)

  1. Doa sulit dikabulkan

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِيْنَ فَقَالَ {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا} وَقَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌوَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَه

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik (ṭayyib), tidak menerima kecuali yang baik (ṭayyib). Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin seperti apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih.’ (QS. al-Mu’minūn: 51). Dan Allah Ta’ala berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu.’ (QS. al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah ﷺ menyebutkan seseorang yang lama bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, lantas berkata: ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia dikenyangkan dari yang haram, bagaimana mungkin doanya bisa terkabul.” (HR. Muslim, no. 1015)

  1. Diancam neraka

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya.” (HR. Aḥmad dan ad-Dārimī)

Doa Rasulullah ﷺ

Semoga Allah ﷻ menjauhkan kita dari harta haram. Rasulullah ﷺ mengajarkan sebuah doa:

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. at-Tirmiżī dan Aḥmad)

Khutbah Jumat: Meneladani Rasulullah Seutuhnya


إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ سَارَ عَلَى نَهْجِهِ القَوِيْمِ وَدَعَا إِلَى الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

اللّهُمَّ عَلِّمْنَا مَا يَنْفَعُنَا، وَانْفَعَنَا بِمَا عَلَّمْتَنَا، وَزِدْنَا عِلْماً، وَأَرَنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرَنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah...
Sebagai umat Islam, sudah selayaknya kita menjadikan Rasulullah Muhammad SAW sebagai teladan terbaik. Karena meneladani Rasulullah SAW adalah keniscayaan bagi setiap muslim yang mengaku berpegang teguh kepada ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)

Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah...
Dalam hal meneladani Rasulullah SAW ini, biasanya kaum muslimin lebih sering membahas tentang teladan dalam hal akhlak dan budi pekerti. Hal ini seperti diceritakan oleh sahabat Anas RA yang mengatakan,

كَانَ رَسُوْلُ اللهَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُـــلُـــقًا

“Rasulullah adalah manusia yang terbaik akhlaknya.” (HR. Muslim)

Meskipun membahas tentang indahnya akhlak Rasulullah SAW adalah sebuah kenikmatan yang harus kita syukuri, pada kesempatan kali ini kami mengajak kaum muslimin untuk sejenak menengok ‘sisi lain’ Rasulullah SAW yang relatif jarang dibahas saat membicarakan tentang meneladani beliau. Selain kesantunan akhlak, kelembutan tutur kata, Rasulullah SAW juga dikenal dengan pribadi yang menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan, senantiasa berpenampilan rapi dan wangi. Karena keindahan fisik beliau inilah menjadi salah satu jalan masuknya hidayah keislaman di hati orang-orang kafir saat itu. Jabir RA berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW di malam purnama, beliau mengenakan kain merah. Aku mulai memandang beliau dan bulan, ternyata beliau lebih indah dibandingkan bulan”.

Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah...
Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Miftah Daris Sa’adah menerangkan bahwa di antara faktor kunci hidayah yaitu menyaksikan kesempurnaan yang melekat pada diri Rasulullah SAW. Ibnul Qayyim berkata, “Di antara mereka (kaum kuffar) ada yang memperoleh hidayah (masuk Islam) dengan melihat kondisi dan sifat bawaan beliau SAW berupa kesempurnaan akhlak, fisik dan perbuatan.”
‘Ali bin Abi Thalib RA bercerita, “Nabi bukanlah orang yang tinggi, juga bukan orang yang pendek. Kedua telapak tangan dan kaki beliau tebal. Kepala beliau besar. Tulang-tulang panjangnya besar. Bulu-bulu dadanya panjang. Jika berjalan, beliau berjalan dengan tegak layaknya orang yang sedang menapaki jalan yang menurun. Aku belum pernah melihat orang seperti beliau sebelum atau setelahnya”.

Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah...
Membaca cerita Sahabat Ali RA tersebut, dapat kita lihat bahwa Rasulullah SAW merupakan pribadi yang kuat secara fisik, bukan seorang yang lemah. Kuatnya fisik Rasulullah SAW ini dapat pula kita pahami dari ibadah-ibadah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW, baik itu shalat, puasa, maupun jihad beliau di jalan Allah SWT. Dalam beberapa kisah dalam Sirah Nabawiyah atau hadits-hadits tentang shalat malam Nabi Muhammad SAW misalnya, digambarkan bahwa Rasulullah SAW selalu shalat malam hingga bengkak kaki beliau. Beliau selalu sedikit tidur dan memperbanyak ibadah di malam hari. Panjangnya shalat Rasulullah SAW tersebut, tentu tidak bisa dilakukan dengan tanpa adanya fisik yang kuat.
Bayangkan, Rasulullah SAW shalat mulai tengah malam hingga menjelang azan Subuh. Para sahabat yang pernah bermakmum kepada beliau menceritakan bahwa dalam sekali berdiri pada saat shalat, setelah Al Fatihah Rasulullah SAW pernah membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’ hingga selesai. Bagaimana mungkin beliau bisa berdiri selama itu jika bukan dengan fisik yang kuat? Bandingkan dengan diri kita masing-masing, selama apa kita bisa berdiri dalam shalat. Kuatnya fisik Rasulullah SAW ini, selain karunia Allah SWT, adalah karena Rasulullah SAW selalu menjaga kesehatan dan kekuatan fisik, salah satunya dengan berolah raga.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap hal yang tidak ada zikir kepada Allah adalah lahwun (kesia-siaan) dan permainan belaka, kecuali empat: candaan suami kepada istrinya, seorang lelaki yang melatih kudanya, latihan memanah, dan mengajarkan renang.” (HR. An Nasa’i)

Rasulullah SAW juga bersabda:

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR. Muslim)

Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah...
Selain kuat secara fisik karena berolahraga, Rasulullah SAW juga dikenal sebagai pribadi yang jarang bahkan tidak pernah sakit. Dalam sejarah kita hanya akan menjumpai sakitnya Rasulullah SAW sekali saja, yaitu menjelang wafatnya beliau. Kenapa bisa demikian? Di antara sebabnya adalah, beliau selalu menjaga pola makan yang sehat. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihnya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas.” (HR. Ibnu Majah)
Berkaitan tentang pola makan ini, ada sebuah hadis yang sebenarnya sanadnya dhaif, tetapi benar secara makna, yaitu, “Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.”
Hampir semua penyakit hadir karena pengaruh makanan, maka dengan mengatur kembali pola makan kita, sebagian besar penyakit sudah bisa kita hindari. Rasulullah SAW adalah contoh nyata akan hal ini. Dengan menjaga betul-betul pola makan, kita ketahui bahwa beliau hanya sakit sekali saja seumur hidup beliau.

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ إِنَّهُ هُوَ السَمِيْعُ العَلِيْمُ

Khutbah Kedua

الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَافِ الأَنْبِيَاءِ وَالمرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ

Jama’ah Jumat yang dirahmati Allah...
Meneladani Rasulullah SAW adalah salah satu bentuk bukti cinta kita kepada beliau. Rasulullah SAW bersabda,

وَالَّذِى نَفْـسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُـمْ حَتَّى أَكُـوْنَ أَحَـبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَـدِهِ وَوَالِـدِهِ وَالنَّـاسِ أَجْمَعِـيْنَ

“Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, salah seorang kalian tidak beriman hingga aku lebih dicintai daripada anaknya, ayahnya dan seluruh manusia.” (Muttafaqun 'alaihi)

Bukan berarti kita tidak boleh mencintai orang tua, suami, istri, anak-anak, harta benda dan sesama makhluk Allah SWT. Namun cinta kita kepada Allah SWT dan Rasul-Nya haruslah lebih tinggi dari semua itu. Termasuk bukti mencintai Rasulullah SAW setelah beliau wafat adalah dengan mempelajari dan menteladani sirah perjuangan beliau, mencontoh akhlak dan adab beliau. Semoga dengannya, kita dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam golongan umat Rasulullah SAW dan termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaat beliau di hari akhir nanti. Aamiin...

اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِى الأُمُورِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْىِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ ومَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن

وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

KH. Ahmad Dahlan, Habib yang Makamnya Tidak Jadi Ladang Bisnis

 

Andika Rahmawan
Ketua Komite Sekolah SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo,
Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PDM Sukoharjo

KH. Ahmad Dahlan adalah pendiri Muhammadiyah dan dikenal sebagai pembaharu Islam di Indonesia. Beliau bukan sekadar ulama dengan kontribusi besar dalam pendidikan, dakwah, dan pemurnian ajaran Islam, tetapi juga memiliki garis keturunan yang sangat mulia. Dalam website resmi Muhammadiyah disebutkan bahwa, berdasarkan kajian sejarah dan silsilah, KH. Ahmad Dahlan merupakan salah satu keturunan dari Wali Songo, yaitu Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah Muhammad ﷺ melalui jalur putri beliau, Sayyidah Fathimah Az-Zahra RA. Dengan demikian, secara genetik beliau masih termasuk dalam kategori seorang habib.

Dalam tradisi masyarakat Muslim Nusantara, keturunan Rasulullah ﷺ, apalagi tokoh ulama besar, kerap mendapat penghormatan luar biasa. Sering kali, penghormatan itu tidak hanya dalam bentuk pengakuan keilmuan dan kontribusinya dalam dunia dakwah ketika tokoh tersebut masih hidup, tetapi juga dalam bentuk memuliakan fisik makamnya setelah wafat. Banyak makam tokoh besar Islam yang dibangun megah, dijadikan destinasi ziarah massal, bahkan berkembang menjadi pusat kegiatan ekonomi dengan tajuk “wisata religi.” Namun, fenomena ini sama sekali tidak berlaku pada makam pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan.

Kesederhanaan Makam Sang Pencerah

Makam KH. Ahmad Dahlan terletak di Karangkajen, Yogyakarta. Bagi orang yang baru pertama kali berkunjung, mungkin akan terkejut karena menyaksikan bentuknya yang teramat sangat sederhana. Hanya berupa sepetak tanah dengan nisan sederhana yang memuat namanya, dikelilingi pembatas semen dengan cat putih polos, dengan hiasan batu-batu berwarna putih di dalamnya, dan di atasnya terdapat papan nama besar yang menerangkan bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah pahlawan nasional. Makam beliau berdampingan dengan beberapa tokoh Muhammadiyah awal seperti KH. Ibrahim. Tidak ada pendopo, gapura megah, atau bangunan permanen yang menjulang. Tidak ada pula “toping” taburan bunga setaman di atas pusara beliau.

Kesederhanaan ini bukan karena keterbatasan kemampuan atau kelalaian pihak keluarga maupun Muhammadiyah sebagai organisasi, melainkan pilihan yang dilakukan dengan sangat sadar. KH. Ahmad Dahlan sepanjang hidupnya mengajarkan bahwa penghormatan kepada orang shaleh tidak boleh dilakukan secara berlebihan hingga jatuh pada pengultusan, perilaku yang justru dapat menggeser nilai-nilai kemurnian tauhid. Prinsip ini selaras dengan pandangan Muhammadiyah yang sejak awal menolak bentuk-bentuk pemujaan berlebihan yang tidak ada tuntunan syariatnya.

Sikap tersebut sejalan dengan teladan para sahabat. Adalah Amirul Mukminin ‘Umar bin Khattab RA misalnya, saat mencium Hajar Aswad beliau berkata, “Sesungguhnya aku menciummu dan aku tahu bahwa engkau hanyalah batu. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah ﷺ menciummu, maka tentu aku tidak akan menciummu” (HR. Bukhari no. 1597, 1605 dan Muslim no. 1270).

Berbeda dengan makam banyak tokoh agama lain yang kerap menjadi pusat keramaian, penuh pedagang, dan dihiasi ornamen mewah, makam KH. Ahmad Dahlan tetap sunyi dan terjaga dari bentuk-bentuk eksploitasi. Penziarah yang datang biasanya hanya duduk tenang, membaca doa, dan mengingat jasa beliau, lalu kembali tanpa ritual khusus atau interaksi komersial apa pun.

Ziarah Kubur dan Tawasul dalam Pandangan Muhammadiyah

Muhammadiyah tidak menolak ziarah kubur. Bahkan, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam beberapa fatwanya telah menjelaskan bahwa ziarah kubur adalah sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad ﷺ. Ziarah mengingatkan manusia kepada kematian, mendorong untuk berbuat baik, dan menjadi sarana mendoakan orang yang telah wafat. Namun, Muhammadiyah menegaskan bahwa ziarah tidak boleh dicampuradukkan dengan praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran Islam.

Prinsip inilah yang menjadikan makam KH. Ahmad Dahlan maupun makam ulama Muhammadiyah lainnya tidak dijadikan pusat ritual berlebihan. Tidak ada praktik meminta berkah dari tanah makam, tidak ada keyakinan bahwa air dari lokasi makam membawa kesaktian, dan tidak ada perantara spiritual yang mengklaim dapat menghubungkan doa dengan arwah beliau. Tidak ada pula para “pendongeng” yang menceritakan karomah ini dan itu dari KH. Ahmad Dahlan semasa hidup maupun setelah wafat. Semua bentuk yang berpotensi menjerumuskan kepada takhayul, bid‘ah, dan khurafat dihindari.

Dalam konteks ini, dalam pengajian Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (18/06/2025) memberikan penjelasan tentang tawasul. Ustadz Asep Sholahudin menegaskan bahwa tawasul yang sahih harus berdasar pada dalil Al-Qur’an dan hadis, seperti menyebut asmaul husna, amal shaleh, atau meminta doa dari orang shaleh yang masih hidup. Sementara meminta pertolongan dari orang wafat, termasuk di makam, dikhawatirkan bisa menuju syirik besar, karena syariat hanya membolehkan mendoakan mereka, bukan menjadikan perantara doa, sesuai landasan ayat “Wabtaghu ilaihil wasilah” (QS. Al-Maidah: 35) dan pendekatan manhaj tarjih Muhammadiyah yang mengutamakan rujukan primer dan menghindari taklid buta.

Selain pandangan resmi Muhammadiyah secara organisasi dalam Majelis Tarjih, secara pribadi Prof. Dr. H. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam satu kesempatan pernah menegaskan bahwa posisi Muhammadiyah dalam masalah ziarah kubur adalah wasathiyah atau moderat. Ziarah itu sunnah, termasuk untuk mengingat kematian. Namun kemudian, di masa setelah Rasulullah, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia, praktik ziarah kubur sering dijadikan keramat, bahkan kuburan dan mayat dijadikan perantara untuk mengabulkan permintaan. Karena itu, Muhammadiyah menegaskan sikap tengah: mengakui manfaat ziarah, tetapi menghindari sikap ekstrem, baik yang terlalu memuja hingga mendekati syirik maupun yang menolak total ziarah kubur. Dalam kerangka inilah, penghormatan terhadap KH. Ahmad Dahlan ditempatkan secara proporsional.

Makam sebagai Simbol Keseimbangan

Makam KH. Ahmad Dahlan menjadi simbol penting bagi Muhammadiyah. Di satu sisi, ia adalah bukti penghargaan terhadap sejarah dan jasa pendirinya. Di sisi lain, kesederhanaan makam itu adalah pernyataan tegas bahwa ajaran Islam yang dibawa beliau menolak pengkultusan individu.

Dalam pandangan Muhammadiyah, penghormatan sejati kepada tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan adalah dengan melanjutkan perjuangannya, meneladani akhlaknya, dan mengembangkan gagasan-gagasannya. Makam hanyalah pengingat, bukan pusat peribadatan, sementara kenyataannya di masyarakat ternyata banyak kuburan “ulama” yang jauh lebih ramai daripada masjid. Dengan demikian, keberadaan makam KH. Ahmad Dahlan lebih berfungsi sebagai monumen sejarah yang hidup, yang mengajarkan umat untuk fokus pada ajaran, bukan pada simbol fisik.

Kesederhanaan ini juga menjadi pesan moral yang kuat di tengah maraknya fenomena kuburan tokoh agama yang dijadikan komoditas. Banyak makam yang dikelola sedemikian rupa hingga menjadi destinasi wisata dengan kepentingan ekonomi bagi kelompok tertentu atau bagi yang mengaku sebagai keturunan ulama tertentu. Sementara itu, Muhammadiyah melalui pengelolaan makam KH. Ahmad Dahlan justru menunjukkan bahwa tempat peristirahatan terakhir seorang ulama besar bisa tetap menjadi ruang zikrul maut yang hening, bersih, dan bebas dari unsur bisnis.

Refleksi atas Pilihan Kesederhanaan

Pilihan untuk tidak menjadikan makam KH. Ahmad Dahlan sebagai ladang bisnis atau komoditas kuburan sesungguhnya adalah kelanjutan logis dari pandangan hidup beliau sendiri. KH. Ahmad Dahlan adalah tokoh yang menekankan pendidikan, dakwah pencerahan, dan penguatan tauhid. Menjadikan makam beliau sebagai objek komersial atau pusat ritual tentu akan sangat bertentangan dengan seluruh nilai yang beliau perjuangkan.

Lebih dari itu, kesederhanaan makam beliau menjadi teladan bagi umat Islam bahwa ukuran penghormatan bukanlah kemegahan bangunan atau ramainya peziarah, melainkan sejauh mana ajaran tokoh itu hidup dan diamalkan. Dalam konteks ini, makam KH. Ahmad Dahlan adalah cermin dari sikap tawadhu‘, kesederhanaan, dan keteguhan prinsip dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.

Penutup

KH. Ahmad Dahlan bukan hanya pendiri Muhammadiyah, tetapi juga seorang habib yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah ﷺ. Meskipun status keturunan Rasulullah ﷺ sering kali dijadikan alasan untuk memuliakan makam dengan berbagai bentuk fisik dan ritual, Muhammadiyah memilih jalan berbeda. Makam sang pendiri tetap sederhana, jauh dari kesan megah atau komersial, sebagai pengejawantahan prinsip ajaran yang beliau bawa.

Kesederhanaan makam ini adalah pesan yang tidak lekang oleh waktu: bahwa kemuliaan seseorang terletak pada ilmunya, amalnya, dan keteladanan hidupnya, bukan pada kemegahan batu nisannya. Dalam kesunyian Karangkajen, makam KH. Ahmad Dahlan berdiri sebagai penegasan bahwa penghormatan tertinggi adalah menjaga ajaran tetap murni, bukan menjadikan kuburan sebagai komoditas. Wallahul Muwaffiq!


*) Tulisan ini dimuat di Majalah Tabligh Edisi No. 8/XXIII - Rabiul Awal 1447 H / September 2025 M

SMA Imam Syuhodo Non Pesantren Buka Penerimaan Murid Baru 2026/2027


Sukoharjo – SMA Muhammadiyah Imam Syuhodo kembali membuka penerimaan murid baru untuk Tahun Ajaran 2026/2027. Sekolah yang dikenal dengan motto Taqwa, Prestasi, Mandiri ini membuka kesempatan bagi siswa-siswi terbaik untuk bergabung melalui Program Non Pesantren/Pulang/Tidak Mondok.

Pendaftaran dibuka dalam tiga gelombang. Gelombang Inden berlangsung mulai 1 September hingga 30 Oktober 2025. Gelombang 1 dibuka pada 1 November 2025 sampai 30 Januari 2026, sedangkan Gelombang 2 berlangsung dari 2 Februari hingga 30 April 2026.

Adapun syarat pendaftaran meliputi: mengisi formulir pendaftaran, melampirkan fotokopi Kartu Keluarga, fotokopi Akta Kelahiran, fotokopi NISN, serta pas foto 3x4 sebanyak 2 lembar. Calon peserta didik juga dikenakan biaya pendaftaran sebesar Rp150.000.

SMA Muhammadiyah Imam Syuhodo terus berkomitmen menghadirkan pendidikan berkualitas yang menyeimbangkan nilai keislaman, ilmu pengetahuan, dan keterampilan abad 21. Dengan fasilitas lengkap, tenaga pendidik berpengalaman, serta berbagai kegiatan penunjang, sekolah ini siap melahirkan generasi yang unggul dan berakhlak mulia.

Bagi masyarakat yang berminat, pendaftaran dapat dilakukan langsung di Kantor SMA Muhammadiyah Imam Syuhodo Kampus II, Jl. KH. Ahmad Dahlan, Wonorejo, Polokarto, Sukoharjo (Utara Lapangan/Balai Desa). Informasi lebih lanjut bisa menghubungi Call Center di 0856 4218 1128.

Dengan kuota terbatas, pihak sekolah mengimbau agar para calon siswa segera mendaftarkan diri sebelum masa pendaftaran berakhir.