Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Kolom Guru

Prestasi

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

» » » Teladan Integritas dalam Sejarah Islam

 

Muhammad Nasri Dini

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Sukoharjo

 

Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong.” (HR. Muslim)

 

Kejujuran dan integritas adalah pondasi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Namun dalam realitas kehidupan modern, nilai-nilai ini sering terkikis oleh godaan duniawi yang sesaat. Prihatin menyaksikan Indonesia yang akhir-akhir ini sedang dibanjiri oleh berita korupsi akbar yang di luar nalar. Kasus-kasus seperti ‘pertamax oplosan’, minyak goreng subsidi ‘Minyakita’ yang volumenya dikurangi dari takaran seharusnya, hingga ‘emas oplosan’, mencerminkan betapa bobroknya kejujuran pejabat public kita. Praktik seperti ini bukan hanya merugikan konsumen (dan ‘negara’?), tetapi juga menghancurleburkan kepercayaan publik terhadap setiap lini yang ada dalam sistem pemerintahan kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk kembali merenungkan teladan integritas yang telah dicontohkan oleh para salafush shalih.

 

Umar dan Gadis Penjual Susu

Salah satu kisah yang terkenal mengenai integritas adalah kisah Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA dan gadis penjual susu. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, ia mengeluarkan larangan mengoplos susu dengan air. Suatu malam, saat ‘blusukan’ kota Madinah untuk melihat lebih dekat kondisi rakyatnya, ia berhenti di dekat sebuah rumah. Dari dalam, ia mendengar percakapan antara seorang ibu dan putrinya. Sang ibu menyuruh putrinya mencampur air ke dalam susu yang akan dijual. Namun, putrinya dengan tegas menolak, seraya berkata, “Bagaimana mungkin aku melakukannya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarangnya?” Sang ibu berkata, “Umar tidak tahu.” Putrinya menjawab, “Jika Umar tidak melihat, maka Tuhan Umar pasti mengetahui. Aku tidak akan melakukannya selama itu telah dilarang.”

Jawaban penuh ketakwaan itu begitu membekas di hati Umar. Esok paginya, ia memanggil putranya, Ashim, dan menceritakan kejadian yang ia dengar. Umar pun menunjukkan rumah gadis tersebut dan berkata, “Pergilah, wahai anakku, dan nikahilah dia.” Ashim pun menikahi gadis itu, dan dari pernikahan mereka lahirlah seorang anak bernama Abdul Aziz bin Marwan. Dari keturunannya kemudian lahir Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang kelak dikenal sebagai pemimpin yang adil dan penuh integritas, sama dengan Umar bin Khattab, kakek buyutnya.

 

Ibnu Umar dan Penggembala Kambing

Kisah lain yang juga mencerminkan nilai integritas adalah kisah penggembala kambing yang ditemui oleh Abdullah bin Umar RA. Suatu hari, Nafi’ menceritakan bahwa ia bepergian bersama Ibnu Umar ke pinggiran kota. Saat berhenti untuk makan, seorang anak penggembala lewat di dekat mereka. Melihat anak itu, Ibnu Umar mengajaknya untuk makan bersama. “Nak, mari bergabung dan makan bersama kami,” katanya dengan ramah.

Namun, anak itu menggeleng dan berkata, “Saya sedang berpuasa.” Terkejut mendengar jawaban itu, Ibnu Umar bertanya, “Pada hari yang terik ini, sementara engkau sedang menggembala di antara pegunungan, kau berpuasa?” Dengan tenang, anak tersebut menjawab, “Aku ingin memanfaatkan waktu luang dengan beribadah.”

Ibnu Umar begitu terkesan dengan ketakwaan anak itu. Ia lalu mengujinya lebih jauh dengan berkata, “Apakah engkau mau menjual seekor kambing dari ternakmu? Kami akan menyembelihnya, memasaknya untukmu, dan memberimu uang sebagai gantinya.” Namun tanpa ragu, anak itu menjawab, “Saya tidak bisa, karena kambing-kambing ini bukan milik saya, melainkan milik tuan saya.”

Mendengar jawabannya, Ibnu Umar mencoba mengujinya sekali lagi, “Bukankah engkau bisa saja mengatakan bahwa seekor serigala telah memangsanya?” Bukannya tergoda, penggembala tersebut justru pergi sambil mengangkat jarinya ke langit dan berkata, “Di mana Allah?” Perkataan itu sangat membekas di hati Ibnu Umar. Ia terus mengulang-ulang kalimat tersebut sepanjang jalan, “Anak itu berkata, ‘Di mana Allah?’”

Setibanya di Madinah, Ibnu Umar lalu mengutus seseorang untuk mencari dan membeli anak penggembala itu beserta ternaknya dari tuannya. Setelah berhasil, Ibnu Umar memerdekakan anak itu dan memberikan seluruh kambing kepadanya sebagai miliknya sendiri. Sikap amanah dan ketakwaan yang ditunjukkan oleh anak penggembala tersebut tidak hanya menginspirasi Ibnu Umar, tetapi juga menjadi teladan bagi kita tentang kejujuran dan kesadaran akan pengawasan Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan.

 

Mubarak Sang Penjaga Kebun

Kisah lain datang dari Al-Mubarak, seorang pelayan yang bekerja di kebun anggur milik seorang saudagar. Ia telah lama merawat kebun itu. Suatu hari, sang saudagar datang dan meminta Mubarak untuk memetik anggur yang manis. Dengan sigap, Mubarak pergi ke kebun, memilih sebuah tandan anggur, dan menyerahkannya kepada tuannya. Namun, ketika saudagar itu mencicipinya, ia kecewa karena anggur tersebut terasa asam. Dengan kesal, ia berkata, “Aku meminta yang manis, bukan yang asam! Pergilah dan ambilkan yang lebih baik.”

Mendengar perintah itu, Mubarak kembali ke kebun dan mengambil anggur dari pohon lain. Namun, saat sang saudagar mencicipinya, anggur itu tetap terasa asam. Kejadian ini berulang hingga tiga kali, membuat saudagar tersebut semakin marah. Ia pun bertanya, “Kau sudah lama merawat kebun ini, mengapa tidak bisa membedakan mana anggur yang manis dan yang asam?”

Mubarak menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan.” Jawaban itu membuat sang saudagar semakin bingung. “Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Bukankah kau setiap hari bekerja di sini?” tanyanya lagi. Mubarak kemudian menjelaskan, “Selama saya bekerja di kebun ini, saya belum pernah sekalipun mencicipi anggur yang ada di sini.”

Sang saudagar semakin terkejut dan bertanya, “Mengapa kau tidak pernah mencicipinya?” Dengan ketulusan, Mubarak menjawab, “Karena Tuan belum pernah memberi saya izin untuk mencobanya.” Jawaban itu begitu mengejutkan sekaligus mengagumkan bagi sang saudagar. Ia tak menyangka bahwa pelayannya begitu jujur dan amanah hingga tak berani mengambil sesuatu yang bukan haknya, meskipun ia memiliki akses penuh ke kebun itu setiap hari.

Karena kejujuran dan ketakwaannya, sang saudagar akhirnya menikahkan Mubarak dengan putrinya. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak laki-laki bernama Abdullah, yang kelak dikenal sebagai ulama besar Abdullah bin Al-Mubarak.

 

Ibrah Kisah

Kejujuran adalah karakter sejati yang tidak bergantung pada pengawasan manusia. Dalam kisah Umar bin Khattab dan penjual susu, gadis muda tersebut menolak mencampur susu dengan air meskipun ibunya menyuruhnya dan tidak ada seorangpun yang melihat. Ia sadar bahwa meskipun manusia tidak mengetahui perbuatannya, Allah SWT selalu mengawasi. Sikap yang sangat langka di zaman sekarang. Banyak orang hanya berbuat jujur ketika ada pengawasan, tetapi begitu celah kecurangan terbuka, mereka akan memanfaatkannya. Kasus korupsi yang marak terjadi menunjukkan bahwa banyak orang kehilangan rasa takut kepada Allah SWT dan hanya takut pada pengawasan atau hukum duniawi.

Amanah dalam hal kecil mencerminkan integritas seseorang dalam hal besar. Kisah Ibnu Umar dan penggembala kambing menggambarkan betapa seorang anak kecil yang menggembala di tengah pegunungan tetap memegang teguh amanahnya. Ia menolak menjual seekor kambing yang bukan miliknya meskipun tidak ada yang melihat. Perkataannya “Di mana Allah?” menggambarkan kesadaran bahwa pengawasan dan rasa takut kepada Allah SWT lebih penting dari sekedar pengawasan manusia. Bandingkan dengan banyak orang saat ini yang dengan mudahnya memanipulasi data, mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari yang bukan haknya, menipu demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya meskipun memiliki kesempatan adalah tanda ketakwaan yang sejati. Kisah Al-Mubarak yang bekerja di kebun anggur bertahun-tahun tetapi tidak pernah mencicipi satu buah pun, karena tidak diberi izin oleh tuannya, menjadi contoh nyata bagaimana seorang menjaga amanah. Dalam kehidupan modern, banyak orang yang justru menyalahgunakan akses dan kekuasaan mereka. Pejabat yang menerima suap, atau pedagang yang mengurangi timbangan menunjukkan bagaimana nilai-nilai amanah telah banyak diabaikan. 

Kesadaran akan pengawasan Allah SWT dan rasa takut kepada-Nya mencegah seseorang dari melakukan tindakan koruptif. Kisah-kisah di atas memiliki benang merah yang sama: mereka tidak butuh pengawasan manusia untuk berbuat baik, bertindak jujur bukan karena takut ketahuan, tetapi karena yakin bahwa Allah SWT selalu melihat. Berbeda dengan orang sekarang, banyak yang hanya takut kepada hukum dunia, tetapi tidak takut kepada Allah SWT. Akibatnya, begitu ada kesempatan berbuat curang, mereka akan tergoda melakukannya. 

Kejujuran membawa keberkahan yang tidak terduga. Gadis penjual susu akhirnya menjadi menantu Umar bin Khattab, khalifah yang dikenal keadilannya. Penggembala kambing dimerdekakan dan diberi seluruh ternaknya. Al-Mubarak menikahi putri tuannya dan memiliki keturunan yang kelak menjadi ulama besar, Abdullah bin Al-Mubarak. Ini membuktikan bahwa kejujuran dan integritas akan selalu membawa kebaikan dalam hidup, tidak hanya di akhirat, tapi juga sejak di dunia. 

Sebaliknya, para koruptor mungkin bisa menikmati hasilnya untuk sementara, tetapi keberkahan akan hilang dari hidup mereka dan keluarganya. Banyak kasus menunjukkan bagaimana para koruptor akhirnya terjerat hukum, kehilangan kehormatan, atau hidup dalam ketakutan karena dosa mereka. Mereka mungkin bisa lepas dari hukuman dunia, tetapi tidak pernah bisa menghindari pengadilan Allah SWT, karena rakyat akan menuntutnya di akhirat.

Di era modern ini, godaan untuk berlaku curang semakin besar. Namun, kisah-kisah dari para tokoh teladan dalam sejarah Islam di atas mengajarkan kita bahwa ternyata kejujuran adalah investasi jangka panjang. Wallahu a’lam.


*) Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Tabligh edisi No. 4/XXIII - April 2025 M / Syawal 1446 H

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply