Muhammad Nasri Dini
Kepala
SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo
Dalam
sirah nabawiyah dikisahkan bahwa pada masa sebelum kenabian pernah dilakukan
pemugaran kembali Ka’bah. Setelah renovasi Ka’bah selesai dan sampai pada
peletakan Hajar Aswad, orang-orang Quraisy berselisih tentang siapa yang berhak
meletakkannya. Semua kabilah ingin untuk meletakkan kembali Hajar Aswad di
tempat semula karena berharap akan mendapatkan kemuliaan darinya. Hal ini
terjadi hingga hampir terjadi pertikaian di antara mereka dan kondisi
menegangkan pun berlangsung hingga beberapa hari.
Pada
saat krusial tersebut Abu Umayyah bin Al-Mughirah Al-Makhzumi, salah satu tokoh
tertua mereka mendapatkan ilham dan mengatakan bahwa yang paling berhak
meletakkan Hajar Aswad adalah orang yang pertama kali masuk Masjidil Haram.
Mereka menerima tawaran itu dan menunggu siapa yang pertama kali masuk masjid.
Atas ijin Allah SWT ternyata yang masuk masjid pertama kali adalah Muhammad
SAW. Setelah melihat, mereka berkata, “Ini adalah orang yang terpercaya, kami
setuju.”
Setelah
mereka menceritakan apa yang terjadi kepada Muhammad SAW, beliau pun
membentangkan kain surbannya lalu mengambil Hajar Aswad dan meletakkan di
atasnya, kemudian beliau meminta kepada setiap pemimpin kabilah agar memegang
setiap ujung kain dan mengangkat Hajar Aswad ke tempatnya. Setelah itu Muhammad
SAW meletakkannya di tempat semula. Dengan demikian terhindarlah pertumpahan
darah antara sesama orang-orang Quraisy.
Kisah
di atas terjadi tentu karena kecerdasan yang dimiliki oleh Muhammad SAW dalam
menghadapi persoalan. Sejak belum diangkat sebagai Nabi dan Rasul, banyak
peristiwa sulit yang dapat diselesaikan dengan hasil maksimal karena sifat
cerdas yang diberikan Allah SWT kepada beliau. Selain cerdas (fathanah),
Rasulullah SAW juga dikaruniai empat sifat lain oleh Allah SWT, yaitu siddiq
(jujur), amanah (dapat dipercaya) dan tabligh (komunikatif). Empat sifat nabawi
ini hendaknya juga dimiliki dan menjadi teladan bagi setiap pemimpin dalam
jenjang apapun, lebih-lebih bagi orang-orang yang diberikan amanah oleh rakyat
sebagai pemimpin di negeri ini.
Menjadi
pemimpin bukanlah perkara mudah, beban berat menanti dirinya. Apalagi dalam
kondisi sulit karena berbagai persoalan yang melilit negeri ini tak
putus-putusnya. Korupsi, kemiskinan, kesenjangan sosial dan ekonomi, hukum yang
tebang pilih, tidak meratanya pembangunan, kualitas pendidikan, sulitnya
lapangan kerja, kejahatan, bahkan tindakan makar, terorisme dan disintegrasi
yang juga mengancam negeri ini. Semua itu merupakan deretan masalah yang harus
segera diatasi di negeri ini. Karenanya dibutuhkan pemimipin yang cerdas untuk
menyelesaikan persoalan rakyat tersebut agar terwujud masyarakat Indonesia yang
adil, makmur dan sejahtera.
Di
antara hikmah yang bisa kita ambil dari kisah Rasulullah SAW dalam
menyelesaikan perselisihan kaum Quraisy saat akan meletakkan Hajar Aswad
tersebut adalah bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang menjunjung tinggi
persatuan. Beliau tidak mengunggulkan satu kabilah dan meninggalkan kabilah
yang lain. Bahkan beliau tidak egois dengan mengambil kesempatan untuk dirinya
sendiri agar bisa meletakkan Hajar Aswad. Tetapi dengan kecerdasan yang
diberikan Allah SWT, beliau dapat merangkul semua kabilah dan mendamaikan mereka.
Tidak ada salah satu yang lebih diuntungkan dan tidak ada pula pihak lain yang
dirugikan.
Seorang
pemimpin cerdas memang harus bisa merangkul semua golongan. Di negeri muslim
majemuk yang ada banyak pemahaman seperti Indonesia misalkan, tidak bisa seorang
pemimpin hanya merangkul satu golongan saja dan meninggalkan golongan yang
lain. Menganggap satu kelompok masyarakat sebagai teroris hanya karena membawa
bendera tauhid, tapi membiarkan kelompok lain di tempat lain yang dengan
terang-terangan berlaku dan berteriak makar, mengibarkan bendera lain, membakar
merah putih. Sangat disayangkan juga jika sang pemimpin itu justru menyerukan
untuk memaafkan.
Pemimpin
harus memiliki kelebihan yang banyak dari rakyat yang dipimpinnya, termasuk
dalam hal kecerdasan. Seorang pemimpin mutlak harus memiliki sifat cerdas
karena dia yang akan dilihat dan diteladani rakyat dalam segala hal. Mulai dari
keputusannya, tutur katanya, sifat-sifatnya, bahkan penampilannya. Kecerdasan
pemimpin juga akan berpengaruh terhadap keadaan rakyat yang dipimpinnya. Karena
ia tahu cara-cara terbaik yang akan dilakukan dalam setiap persoalan negerinya
sebelum mengambil tindakan untuk menyelesaikannya.
Seorang
pemimpin yang cerdas, akan selalu tegas dan adil dalam membuat keputusan. Ia selalu
berpikir untuk kepentingan semua pihak dan tidak sekedar menyenangkan hati
sekelompok orang tertentu dengan keputusannya. Karena setiap apa yang dia
putuskan pasti berdasarkan ilmu yang dia miliki. Pemimpin cerdas tidak asal
membuat keputusan dan tidak asal bertindak. Tapi dia akan mempelajari setiap
hal secara detail dan rinci agar setiap tindakkan dan keputusannya tidak
menciptakan kesalahpahaman.
Pemimpin
yang cerdas adalah pemimpin yang berpikir secara logis, kritis dan sistimatis.
Hal inilah yang menunjukkan identitas dirinya sebagai orang yang berbeda dengan
kebanyakan manusia sehingga dirinya layak menjadi seorang pemimpin. Kalaupun
dia kurang memiliki ilmu dalam hal tertentu, seorang pemimpin yang cerdas akan
bisa memanajemen dengan baik para bawahannya sehingga bisa membantunya
menyelesaikan suatu masalah. Ia akan berpikir cerdas dan bertindak cerdas.
Seorang
pemimpin yang cerdas tidak akan dipermalukan oleh bawahannya sendiri karena
tidak tegas dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ia akan dengan mudah
‘dibantah’ oleh bawahannya saat salah dalam mengambil keputusan. Seperti halnya
seorang presiden di negeri antah berantah yang sering salah dan tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan. Seringkali, mungkin karena kurangnya kecerdasan yang
dia miliki, beberapa saat setelah dia mengumumkan suatu hal langsung dibantah
oleh bawahannya. Dan nyatanya pernyataan bawahannya yang terbukti kebenarannya.
Ini menunjukkan bahwa pemimpin tersebut sangat lemah kecerdasan dan pengaruh
kepemimpinannya.
Lihatlah
dalam beberapa forum dan wawancara internasional, seorang pemimpin ‘negeri
seberang’ juga sering tampak memalukan karena kurangnya kecerdasan yang dia
miliki. Pernah dalam sebuah wawancara, sang pemimpin justru sibuk dengan kertas
yang dipegangnya, membolak-balikkan kertas seperti grogi saat diwawancara,
padahal pewawancara malah tidak terlihat memegang kertas. Tentu orang yang
menjadi rakyatnya akan malu melihat hal tersebut. Kalaupun tidak bisa semua
bahasa asing, seorang pemimpin yang cerdas tidak akan malu menggunakan
penerjemah. Daripada harus terlihat tak lancar dalam berkomunikasi dalam bahasa
asing.
Seorang
pemimpin cerdas juga akan senantiasa mengasah dan menambah ketajaman
pengetahuannya jika menang dia merasa ada yang kurang dari dalam dirinya. Membaca
dan berdiskusi adalah salah satu cara yang bisa dilakukannya. Tidak selayaknya
bagi seorang pemimpin saat ditanya apa buku yang dibacanya, dengan bangga
menjawab bahwa buku-buku koleksinya adalah buku-buku kartun komik yang tidak
ada korelasinya dengan permasalahan negara. Karena pemimipin yang cerdas harus
selalu menambah kapasitas dan kapabilitas dirinya sehingga mampu mengemban
amanah berat ini.
Dan
yang tidak kalah penting, pemimpin cerdas akan selalu meningkatkan nilai-nilai
spiritual (ruhiyah) dalam dirinya. Karena kecerdasan adalah salah satu sifat
Nabawi, maka seorang pemimpin nawabi juga akan mengejewantahkan nilai-nilai
agama dan kenabian dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menjalankan
kepemimpinannya. Seorang pemimpin cerdas harus rajin mendekatkan diri kepada
Allah SWT dan berusaha meninggalkan apa yang tidak dibenarkan oleh-Nya dan
Rasul-Nya. Seorang pemimpin yang cerdas akan menjadikan dirinya sebagai seorang
yang religius dan menganggap bahwa kepemimpinan yang diembannya tersebut adalah
amanah suci dari Allah SWT, sehingga dia tidak akan pernah menyia-nyiakannya.
Untuk
meningkatkan kecerdasan spiritual ini, pemimpin harus mendekat kepada ulama dan
tokoh-tokoh agama. Dia harus bersungguh-sungguh dalam meningkatkan iman dan
takwa sebagai bekal dalam melaksanakan amanah kepemimpinan. Indonesia merupakan
negara dengan penduduk mayoritas muslim, maka sudah menjadi keniscayaan bagi
seorang pemimpin agar selalu menjadikan para ulama dari berbagai kalangan
sebagai penasihatnya. Seorang pemimpin yang cerdas secara spiritual akan
senantiasa saling menasihati satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran.
Dikisahkan
pada masa Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sungai Nil pernah kering, air
tidak mengalir. Sebelum pemerintah Islam menguasai Mesir, upaya penduduk Mesir
agar sungai Nil kembali mengalir adalah dengan membuang gadis perawan sebagai
tumbal. Saat itu, gubernur Mesir dijabat oleh Amr bin Ash RA. Para penduduk
Mesir menjumpai Amr RA dan mengeluhkan masalah yang mereka hadapi. Amr RA pun
mengirim surat kepada Umar RA mengenai kondisi di Mesir. Dan Umar RA pun
membalas surat Amr RA.
“Aku
mengirim kepadamu sebuah surat di dalam suratku ini, maka lemparkanlah surat
itu ke dalam sungai Nil.” Lalu Amr RA mengambil sebuah surat yang tertulis di
dalamnya, “Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada sungai Nil-nya
penduduk Mesir. Amma ba’du. Jika engkau mengalir seperti sebelumnya dan atas
urusanmu, maka janganlah mengalir, karena kami tidak butuh denganmu. Dan jika
kamu mengalir karena perintah Allah yang Maha Esa dan Maha Memaksa, Dialah yang
mampu mengalirkanmu, maka kami memohon kepada Allah Ta’ala agar mengalirkanmu.”
Amr RA pun melemparkan surat Umar RA itu ke dalam sungai Nil. Dan di malam
harinya Allah SWT kembali mengalirkan sungai Nil dan memutus masa paceklik
penduduk Mesir.
Semoga
kita dikarunai pemimpin yang cerdas dalam segala hal, sehingga dapat berperan
sebagaimana mestinya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang melanda negeri
ini. Pemimpin cerdas yang selalu dalam bimbingan Allah SWT. Wallahul Musta’an.
*) Tulisan ini pernah dimuat Majalah Tabligh edisi No. 09/XVI Muharram 1441/September-Oktober 2019
Tidak ada komentar: