Diberdayakan oleh Blogger.

New

Artikel

Berita

Pendidikan

Agenda Sekolah

Info Pendaftaran

» » » Muhammadiyah dan Warisan Suksesi Sejuk



Muhammad Nasri Dini, M.Pd

Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo

 

Setelah sempat tertunda beberapa tahun karena adanya pandemi, Muhammadiyah tampaknya benar-benar akan menggelar hajatan besar lima tahunan pada akhir tahun ini. Muktamar Muhammadiyah ke-48 sudah matang diagendakan dan akan dilaksanakan pada 18-20 November 2022 di Surakarta atau Solo Jawa Tengah. Salah satu agenda Muktamar tentu saja adalah suksesi atau pemilihan pimpinan pusat periode yang akan datang. Sependek pengetahuan penulis, anggota muktamar Muhammadiyah memang tidak pernah memilih ketua secara langsung, tetapi mereka memilih anggota pimpinan yang disebut sebagai formatur. Nantinya formatur ini yang kemudian akan menentukan siapa ketua umum dan menyusun kepengurusan PP Muhammadiyah yang akan datang.

 

Pemilihan dengan sistem formatur ini tidak hanya berlaku pada musyawarah di tingkat pusat saja, tetapi juga berlaku pada musyawarah di tingkat di bawahnya, dari pimpinan wilayah bahkan hingga pimpinan ranting. Kultur yang sudah berjalan selama ini, peraih suara terbanyak dalam pemilihan formatur tidak lantas otomatis ditetapkan menjadi ketua. Bahkan tidak menutup kemungkinan ketua dipilih bukan dari anggota formatur terpilih.

 

Kalau di pemilihan-pemilihan di luar Muhammadiyah, entah di partai politik atau ormas yang lainnya, tentu sudah jamak kita jumpai adanya cara-cara tidak sehat dalam pemilihan pimpinan. Dari saling tekan antar pendukung calon tertentu hingga cara kotor politik uang atau membeli suara agar dapat terpilih sebagai pucuk pimpinan. Semua berebut agar bisa menjadi orang tertinggi di organisasinya. Tapi di Muhammadiyah, setidaknya dari kisah-kisah yang akan disampaikan selanjutnya nanti akan kita dapati sebaliknya, para calon pimpinan Muhammadiyah tidak pernah berebut saling sikut dan saling injak untuk dapat menjadi ketua umum di Persyarikatan. Tidak jarang pula yang justru menolak menduduki kursi ketua umum.

Penulis sempat beberapa kali terlibat langsung dalam pemilihan pimpinan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, mulai di tingkat bawah, dari ranting, cabang dan daerah. Beberapa akan kami sampaikan dalam tulisan sederhana ini.

 

Saat itu kami pernah menjadi salah satu peserta musyawarah cabang (muscab) Muhammadiyah. Ketua Umum Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) sebelumnya juga masuk sebagai calon formatur. Maka mayoritas dari anggota Muscab pun memilih beliau kembali dan dalam rekap suara beliau memperoleh suara terbanyak. Tapi saat pengumunan formatur, beliau menyatakan tidak bersedia dipilih lagi sebagai anggota formatur. Usut punya usut di sini ternyata juga ada sedikit ketidakcermatan dari panitia pemilihan. Ternyata saat mengisi surat pernyataan yang disodorkan oleh panlih, beliau mengisi pernyataan tidak bersedia untuk dicalonkan kembali. Padahal beliau ini dikenal sebagai kiai kharismatik di cabang kami. Tapi lebih memilih untuk menolak jabatan sturuktural organisasi dan lebih memilih mengabdikan dirinya mengisi pengajian-pengajian warga Muhammadiyah. Maka setelah itu beliau benar-benar tidak masuk kembali sebagai pengurus PCM, tetapi masih tetap aktif di persyarikatan sebagai sesepuh, orang yang dituakan dan diharapkan nasihat-nasihatnya. Hingga sebelum akhir hayatnya, beliau masih rutin memberikan kajian pada jamaah Muhammadiyah dan Aisyiyah di tempat kami.  Semoga Allah merahmatinya, beliau adalah almarhum KH. Ahmad Sangidu, B.A.

 

Masing di tingkat cabang, kami juga pernah ditunjuk sebagai salah satu anggota panitia pemilihan (panlih) dalam salah satu kesempatan muscab. Singkatnya, saat itu yang terpilih dengan perolehan suara terbanyak dalam pemilihan formatur juga tidak bersedia untuk ditunjuk sebagai ketua. Alasan yang dikemukakan bahwa dirinya merasa masih terlalu muda (usianya saat itu baru 30an tahun), sedangkan formatur terpilih yang lain masih banyak yang lebih senior. Kami saat itu juga ada di dalam forum musyawarah formatur tersebut. Tidak kurang dari satu jam musyawarah formatur berdebat sengit dalam pemilihan ketua. Bukan saling berebut untuk memegang posisi ketua. Tapi semuanya dengan argumen masing-masing saling menghindar dari posisi ketua. Tapi pada akhirnya tetap harus ada yang mengemban amanah sebagai ketua, dan yang terpaksa menerima amanah sebagai ketua adalah salah satu senior yang duduk di posisi suara ke tiga formatur terpilih.

 

Barangkali ada yang berpikir, pantas saja menolak menjadi ketua PCM, wong di cabang Muhammadiyah bukan lahan ‘basah’. Dalam konteks di tempat kami hal ini seratus persen salah. Meskipun memang bukan PCM yang terbaik, tapi cabang kami merupakan salah satu cabang yang besar. Di sana ada pondok pesantren Muhammadiyah yang merupakan salah satu ponpes rujukan nasional, yaitu Pondok Pesantren Modern Imam Syuhodo yang memiliki tidak kurang dari seribu santri. Mantan direkturnya, yaitu KH. Yunus Muhammadiyah bahkan menjadi salah satu pelopor menyebarnya pesantren Muhammadiyah di Nusantara dengan kendaraan ITMAM (Ittihad Al Ma’ahid Al Muhammadiyah/Perhimpunan Pesantren Muhammadiyah se-Indonesia). Di bidang pendidikan, PCM Blimbing punya banyak sekali amal usaha (AUM), ada 12 MI/SD Muhammadiyah dan ada juga SMP, MTs, SMA, dan SMK Muhammadiyah. Selain itu ada pula PKU Muhammadiyah yang baru berkembang. Aisyiyahnya juga punya 23 TK/BA. Dari 17 desa se-kecamatan, PCM kami punya 31 ranting Muhammadiyah, 125 anggota korps Mubaligh Muhammadiyah dan 105 masjid binaan.

 

Di tingkat ranting kita juga pernah menjumpai hal yang serupa. Saat itu warga Muhammadiyah di ranting kami menggelar Musyawarah Ranting (musran). Setelah ketua ranting sebelumnya wafat, warga menghendaki adanya pimpinan ranting Muhammadiyah (PRM) dari kalangan yang dekat dengan anak muda yang tentu saja juga tidak diragukan perjuangannya untuk Islam dan persyarikatan. Maka saat itu warga ranting peserta musran, terutama para kalangan muda berhasil ‘memenangkan’ salah satu calon formatur. Tapi setelah menunggu rapat formatur beberapa saat, ternyata diumumkan bahwa ketua terpilih bukan dari calon dengan suara terbanyak, karena yang bersangkutan tidak bersedia ditunjuk sebagai ketua. Sempat saat itu ada sedikit kekecewaan yang lahir karena ketidakpahaman mereka, kenapa bukan peraih suara terbanyak yang menjadi ketua. Tetapi setelah dipahamkan akhirnya mereka pun menerima dengan lapang dada. Tidak ada PRM tandingan seperti halnya mungkin yang terjadi di organisasi politik.

 

Selain cabang dan ranting, kami juga pernah menjadi panitia pemilihan pada musyawarah daerah (musda) Muhammadiyah Sukoharjo. Saat itu musda diadakan di UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), yang meskipun bernama Surakarta, tapi letaknya memang di wilayah kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Saat itu anggota musda semuanya mungkin merasa dag dig dug. Karena lebih dari satu jam musyawarah formatur belum juga selesai, padahal hari sudah menginjak sore. Sedangkan peserta musda sudah tidak ada agenda selain mendengarkan pengumuman hasil dari musyawarah formatur. Setelah ditunggu, mungkin saat itu tidak kurang dari dua jam, atau malah lebih, akhirnya panitia pemilihan mengumumkan. Dan lagi-lagi seperti sudah diduga, formatur dengan suara terbanyak, saat itu KH. Sholahudin Sirizar, Lc, M.A, tidak bersedia diamanahi sebagai ketua. Awalnya 10 anggota formatur yang lain juga tidak bersedia, maka waktu untuk musyawarah formatur pun juga menjadi sangat lama karena satu sama lain saling beradu argumen menyatakan tidak bersedia ditunjuk menjadi ketua. Pada akhirnya, yang terpaksa menerima amanah adalah KH. Wiwaha Aji Santosa, S.Pd, yang juga masih menjabat sebagai Ketua Umum Tapak Suci Wilayah Jawa Tengah.

 

Dalam sejarah pemilihan dalam Muktamar Muhammadiyah, juga pernah terjadi calon ketua pimpinan pusat yang sudah dipilih muktamirin enggan untuk menerima jabatan sebagai Ketua Umum. Peristiwa tersebut terjadi dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 pada tahun 1953 yang diselenggarakan di Purwokerto. Ketika itu dari 9 nama formatur terpilih yang sudah dipilih oleh muktamirin melakukan musyawarah mufakat memilih Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1953-1956. Akan tetapi ke-9 nama formatur pimpinan pusat yang terpilih ketika itu tidak ada satu pun yang bersedia untuk menjadi ketua. Singkat cerita pada akhirnya para formatur tersebut pun berangkat ke Padang untuk membujuk Buya Sutan Mansur agar mau hijrah ke Jakarta atau Yogyakarta dan menjadi ketua umum PP Muhammadiyah.

 

Pada akhirnya Buya Sutan Mansur pun bersedia menerima amanah menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Bahkan selanjutnya diketahui bahwa beliau menjabat dua periode sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, yaitu pada periode 1953-1956 dan pada periode 1956-1959. Dalam sejarah kepemimpinan Buya Sutan Mansur di Muhammadiyah, telah melahirkan Khittah Palembang, yang merupakan pokok pikiran arah garis perjuangan Muhammadiyah. Buya Sutan Mansur juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, setelah Pemilu 1955 digelar.

 

Muktamar (sebelumnya pernah disebut sebagai kongres) Muhammadiyah telah berlangusng tidak kurang dari 47 kali. Dan Muhammadiyah dalam muktamarnya selama ini selalu bisa menjadi teladan bagi organisasi yang lain. Muhammadiyah menganggap muktamar adalah momentum yang sangat tepat untuk memberikan keteladan salah satunya dalam hal suksesi atau pemilihan pimpinan, tidak hanya bagi ormas Islam lain tapi juga untuk organisasi masyarakat maupun organisasi politik lainnya. Selama ini Muktamar yang diselenggarakan Muhammadiyah selalu berlangsung dengan tertib, lancar, dan penuh kesejukan. Dalam setiap rangkaian acaranya, Muktamar Muhammadiyah selalu menjunjung tinggi kesabaran, ketawadhuan dan penuh khidmat. Terlebih Muhammadiyah adalah ormas Islam dengan lembaga amal usaha terbanyak, tidak hanya di Nusantara saja, tapi juga di dunia Internasional.

 

Muktamar Muhammadiyah dari waktu ke waktu sudah berjalan dengan penuh kesejukan, tidak ada intrik yang terjadi di sana. Ini yang dipuji dari orang-orang luar dari Muhammadiyah selama ini. Karena beberapa waktu lalu ternyata pernah ada pula berita yang kita baca bahwa ormas keagamaan pun ada yang musyawarah tertingginya berjalan ricuh dan terjadi saling tekan. Semoga Allah SWT masih tetap menjaga persyarikatan kita ini sehingga para pimpinan daerah dan wilayah yang menjadi delegasi Muktamar nanti tetap bisa menjaga tradisi kesejukan dan keteduhan dalam muktamar. Sehingga Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar tetap bisa menjadi ormas Islam yang menghasilkan lebih banyak kontribusi bagi bangsa, memajukan Indonesia, mencerahkan semesta. Wallahul musta’an.


*) Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi No.9 / XX Shafar 1444 H / September 2022 M

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply