M. Nasri Dini
Tentu banyak dari kita yang sudah terbesit tentang asal kalimat dalam paragraf di atas. Ya, kalimat tersebut adalah petikan jawaban Nyai Walidah Ahmad Dahlan dalam salah satu adegan film Sang Pencerah (2010) saat ditanya oleh kakaknya (K.H. Muhammad Nur) tentang suaminya (K.H. Ahmad Dahlan) yang dinilai telah melenceng dari ajaran Islam yang sudah biasa berlaku di masyarakat Kauman Yogyakarta.
Sebagaimana Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha yang mendukung perjuangan sang suami, baginda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sejak awal perjuangan beliau, begitu pula dengan Nyai Walidah Dahlan yang selalu setia membersamai dalam suka maupun duka diatas jalan dakwah yang diambil oleh K.H. Ahmad Dahlan, termasuk menguatkan suaminya dalam menyikapi kebanyakan masyarakat yang menghalanginya.
Perempuan tokoh besar Islam nusantara ini lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1872 dengan nama Siti Walidah. Beliau adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang merupakan putri K.H. Muhammad Fadhil seorang ulama di Kasultanan Yogyakarta. Pada masa itu setiap anak perempuan dalam lingkungan keraton harus tinggal di rumah hingga saatnya menikah. Sehingga Siti Walidah tidak pernah mendapatkan pendidikan kecuali oleh orangtuanya sendiri. Oleh sang ayah beliau diajarkan berbagai aspek tentang Islam dengan baik, termasuk bahasa Arab dan Al-Qur'an.
Selain itu sebagaimana rata-rata anak di Kauman, Siti Walidah juga mendapatkan pendidikan agama yang dibimbing langsung oleh para kyai di langgar-langgar Kauman. Siti Walidah dikenal sebagai sosok pembelajar. Kemampuannya berdakwah sudah diasah sejak kecil sehingga mendorongnya mendapat kepercayaan dari ayah beliau untuk membantu mengajar di langgar yang biasa disebut Langgar Kyai Fadhil.
Pada tahun 1889 Siti Walidah dinikahkan dengan salah satu sepupu beliau sendiri yaitu K.H. Ahmad Dahlan yang baru saja pulang dari Tanah Suci Makkah, sehingga kemudian beliau lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan. Buah dari pernikahan beliau dengan K.H. Ahmad Dahlan tersebut Nyai Ahmad Dahlan dikaruniai enam orang putra dan putri.
Diawal mula K.H. Ahmad Dahlan berdakwah dengan membumikan kesalihan sosial melalui pengamalan Al-Qur’an Surat Al-Ma’un dan lebih lagi perjuangan beliau dalam memurnikan akidah umat dari noda syirik, memberantas takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC), beliau menerima banyak tentangan dan halangan dari masyarakat Kauman bahkan dari keluarga besar beliau sendiri. Disaat inilah peran Nyai Walidah Dahlan sangat dirasakan oleh suaminya. Tak hanya menjalankan peran utamanya sebagai seorang istri, beliau juga membantu dan menguatkan suaminya dalam berdakwah.
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama yang dikenal mempunyai pemikiran-pemikiran puritan dan pembaharuan (tajdid) yang dianggap radikal, karenanya Nyai Walidah Dahlan dan suaminya sering mendapat kecaman dan tentangan. Bahkan karena beberapa pandangan K.H. Ahmad Dahlan tentang Islam yang dianggap menyimpang tersebut, pasangan ini sering pula menerima berbagai ancaman. Namun demikian Nyai Walidah Dahlan tidak pernah sedikitpun merasa gentar apalagi surut langkah dan tetap saja mendukung suaminya dalam menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni.
Nyai Walidah Dahlan memang sangat berperan dalam membantu suaminya dalam perjuangan kemerdekaan serta pengembangan Persyarikatan Muhammadiyah yang saat itu masih dalam masa perintisan. Sebagai istri yang setia kepada suami dan kemuliaan agamanya, beliau banyak memberi dukungan baik secara moral spiritual maupun dalam bentuk materi.
Pernikahannya dengan K.H. Ahmad Dahlan memberinya kesempatan lebih besar untuk menimba ilmu langsung dari sumbernya (ulama) yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Selain itu, kedekatannya dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan tokoh-tokoh pergerakan teman seperjuangan suaminya juga membuat beliau mempunyai pandangan luas akan berbagai macam hal.
Aktivitas organisasi beliau bertambah saat K.H. Ahmad Dahlan merintis berdirinya organisasi khusus perempuan Sapa Tresna (Siapa Cinta) pada 1914 yang awalnya berupa pengajian Al-Qur’an dan kelas baca-tulis khusus perempuan. Sapa Tresna didirikan diantaranya dalam rangka menghambat aksi Kristenisasi di Jawa melalui sekolah yang disponsori oleh pemerintah kolonial Belanda.
Selain melalui Sapa Tresna Nyai Walidah Dahlan bersama suaminya juga merintis pengajian Wal ‘Ashrisetiap setelah ‘Ashar dan Maghribi School yang diadakan selepas Maghrib. Pengajian-pengajian tersebutjuga diperuntukkan bagi para buruh batik di Kauman yang merupakan kelompok terpinggir yang sulit memperoleh pendidikan. Disamping belajar tentang agama, pengajian juga mengajarkan mereka cara menulis dan membaca.
Menurut situs resmi PP Aisyiyah (2014) Wal ‘Ashri, Maghribi School dan Sapa Tresna menjadi cikal bakal pergerakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah dalam memperjuangkan kesetaraan bagi setiap kelompok manusia tanpa pandang kasta atau status sosialnya. Setelah kelompok pengajian tersebut berjalan lancar dan anggotanya terus menerus bertambah, pengajian ini menyebar sampai ke pelosok nusantara yang kemudian mendorong berdirinya perwakilan organisasi ‘Aisyiyah.
‘Aisyiyah baru diresmikan pada 22 April 1917. Nama ‘Aisyiyah berasal dari nama istri Nabi Muhammadshalallahu ‘alaihi wasallam, yakni ‘Aisyah binti Abu Bakar radhiallahu ‘anhuma. Lima tahun kemudian organisasi ‘Aisyiyah menjadi bagian dari Muhammadiyah. ‘Aisyiah didirikan sebagai alat perjuangan untuk memajukan kaum perempuan.
Setelah K.H. Ahmad Dahlan wafat pada tahun 1923, Nyai Walidah Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Melalui ‘Aisyiyah, Nyai Walidah Dahlan memilih aktif di masyarakat dengan karya nyata diantaranya dengan mendirikan sekolah-sekolah dan asrama-asrama khusus bagi putri-putri Islam. Para remaja putri tersebut dididik agama Islam, kemasyarakatan, pemberantasan buta huruf, serta di tanamkan rasa kebangsaan dan juga dianjurkan untuk mengambil peran aktif dalam pergerakan nasional. Selain itu, beliau juga mendirikan rumah-rumah untuk kaum miskin dan anak yatim perempuan. Nyai Walidah Dahlan berpendapat bahwa perempuan mempunyai kedudukan sama dengan laki-laki termasuk dalam memperoleh pendidikan dan berperan dalam masyarakat.
Saat banyak perempuan sudah bergabung dengan ‘Aisyiyah dan cabang-cabang lainnya dibuka di seluruh Nusantara, bersama-sama dengan pengurus ‘Aisyiyah, beliau sering mengadakan perjalanan ke luar daerah sampai ke pelosok desa untuk menyebarluaskan ide-idenya. Beliau pun kerap mendatangi cabang-cabang ‘Aisyiyah seperti Boyolali, Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun dan sebagainya.
Pada masa penjajahan Jepang, ‘Aisyiyah dilarang oleh militer Jepang di Jawa dan Madura. Nyai Walidah Dahlan yang usianya sudah mulai senja kemudian bekerja dan berjuang di sekolah-sekolah untuk menjaga akidah para siswa dari paksaaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang yang penuh dengan kesyirikan. Beliau juga giat membantu perjuangan dengan mengajak kaum perempuan mendirikan dapur-dapur umum bagi pejuang dan tentara yang sedang bertempur di garis depan.
Sebagai mubalighat, Nyai Walidah Dahlan selalu berbicara dengan jelas dan fasih. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa Nyai Walidah Dahlan dikenal sebagai salah satunya tokoh perempuan yang rajin bertukar pikiran dan aktif berpartisipasi dalam diskusi tentang pergerakan kemerdekaan bersama Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno.
Perjuangan Nyai Walidah Ahmad Dahlan yang tidak pernah kendur tersebut harus terhenti pada usia 74 tahun, tepatnya pada 31 Mei 1946. Pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil beliau ke haribaan-Nya. Untuk menghormati jasa-jasa beliau dalam menyebarluaskan Islam dan mendidik perempuan, pada 10 November 1971, Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 42/TK/Tahun 1971 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Nyai Walidah Ahmad Dahlan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Nyai Walidah Ahmad Dahlan dan menjadikan perempuan-perempuan saat ini dapat meneladani perjuangan beliau dalam mendukung sepenuhnya perjuangan suami demi tegaknya kalimat Allah di muka bumi. Nasrun minallah wafatkhun qarib.
Sumber: www.fastabiqu.com
Tidak ada komentar: