M. Nasri Dini
Salah satu tokoh penting yang dimiliki dunia pendidikan negeri
ini adalah K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah (1868 - 1923 M). Beliau lahir
di kampung Kauman Yogyakarta dari pasangan K.H. Abu Bakar dan Siti Aminah
dengan nama Muhammad Darwis. Ayah beliau adalah seorang khatib Masjid Agung
Kesultanan Yogyakarta. Apabila dilacak, silsilah ayah beliau sampai kepada Syaikh
Maulana Malik Ibrahim rahimahullah. Sedangkan ibunya adalah putri K.H.
Ibrahim penghulu kesultanan Yogyakarta.
Drs. H. Mustafa Kamal Pasha, B.Ed (2005: 90) dalam buku Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Islam menulis, saat itu di masyarakat Kauman ada pendapat
umum bahwa barang siapa yang memasuki sekolah Belanda dianggap kafir atau
Kristen. Oleh karena itu Muhammad Darwis kecil tidak disekolahkan oleh ayahnya melainkan
dididik sendiri dengan Al-Qur’an dan ilmu dasar-dasar agama Islam di rumahnya.
Selanjutnya ia melanjutkan belajar ilmu-ilmu agama kepada beberapa Kyai di
kesultanan Yogyakarta.
Beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Siti Walidah beliau
menunaikan ibadah Haji ke Makkah. Setelah itu beliau bersilaturahmi dan
mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional kepada ulama-ulama di sana seperti Syaikh
Mahfudz Termas rahimahullah, Imam Nawawi Banten rahimahullah dan banyak
ulama lainnya di Masjidil Haram. Sedangkan semangat pembaharuan dan modernisasi
Islam beliau dapat dari ulama-ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, Syaikh Muhammad Rasyid
Ridha rahimahullah dan sebagainya. Nama Haji Ahmad Dahlan beliau
dapatkan dari Syaikh Bakri Syata’ rahimahullah seorang ulama madzhab
Syafi’iyah di Makkah. Sepulang dari Mekkah dengan bergantinya nama dan
bertambahnya ilmu, beliau diberi amanat untuk mengajarkan agama di Yogyakarta
dan kemudian beliau mendapat sebutan K.H. Ahmad Dahlan.
Modernisasi Pendidikan Islam
Ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia pada
masa K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah, yaitu pendidikan pesantren dan
pendidikan barat. Diantara karakteristik pendidikan model pesantren ini adalah hanya
mengkaji berbagai macam kitab yang mencakup masalah-masalah agama saja dan
tidak ada pelajaran umum yang diajarkan kepada para santri. Ijazah dan rapor
juga tidak dikenal di kalangan mereka. Salah satu problem mendasar pendidikan
model pertama ini, selain penolakan terhadap fasilitas modern termasuk tidak
adanya kurikulum, mereka hanya akan menerima segala hal yang dianggap baik dan
yang buruk hanya dari kyai-kyai mereka saja (Abu Mujahid, 2013 : 95).
Sementara itu, pendidikan ala barat hanya mengajarkan
ilmu-ilmu yang diajarkan di barat. Pendidikan yang didirikan pemerintah
kolonial Belanda ini pun sudah menggunakan segala hal yang disebut modern. Baik
itu metode, fasilitas dan lain sebagainya sudah modern. Ilmu yang diajarkan pun
tidak ada yang diajarkan di pesantren. Sekolah-sekolah yang didirikan Belanda
ini menerapkan sistem sekuler yang meniadakan pelajaran agama dan nilai-nilai
agama dalam setiap pelajaran. Sehingga pada akhirnya melahirkan golongan baru
yang disebut golongan intelek yang umumnya anti Islam. Bahkan alumni
sekolah-sekolah ini banyak yang akhirnya menjadi antek-antek Belanda.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah
untuk mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan dua karakter dan dua model
pendidikan di atas. Yang mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. Dengan
demikian umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam tetapi juga
berwawasan luas tentang perkembangan modern.
Islamisasi Pendidikan Nasional
Bahwa kita semua telah mafhum kalau yang menjadi tekanan
utama Ki Hajar Dewantara (KHD) dan Perguruan Tamansiswanya (1922) dalam masalah
pendidikan hanyalah masalah kebangsaan dan cinta tanah air. Sedangkan masalah
agama tidak pernah menjadi perhatian utama. Darinya memang lahir orang-orang
yang mau berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Rasa nasionalisme mereka tinggi
tapi rasa keagamaan mereka (terutama yang muslim) tidak terbangkitkan sama
sekali. Di sini jelas KHD lebih memilih “ideologi pendidikan sekuler” untuk
perguruan yang didirikannya. Dan inilah yang secara eksplisit pula dijadikan
dasar ideologis penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada masa-masa
berikutnya sampai sekarang.
Ideologi nasionalis memang lebih diberi tempat oleh
masyarakat negara kita. Sehingga kalau ada tokoh lain yang sebanding (bahkan
lebih hebat) yang berideologi selain itu tidak akan dianggap penting. Dalam
masalah pendidikan ini ada tokoh lain yang sebenarnya tidak kalah dengan KHD
dalam kiprahnya di dunia pendidikan, dialah K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah.
K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah memang tidak secara khusus memfokuskan
gerakannya di bidang penddidikan. Namun perhatian beliau terhadap masalah
pedidikan di negeri ini sungguh luar biasa.
Saat beliau mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 1912,
salah satu gerakan serius yang beliau kerjakan adalah mendirikan Kweekschool (Sekolah
Guru) Muhammadiyah (saat ini Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah). Dengan
mendirikan sekolah ini K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah ingin para
alumninya menyebar dan mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat. Sehingga
dalam waktu singkat sekolah-sekolah Muhammadiyah dapat berdiri di seluruh
pelosok Nusantara. Bahkan di pelosok-pelosok yang belum pernah terjamah oleh
pemerintah pun sekolah Muhammadiyah sudah hadir lebih dahulu. Saat ini jumlah
sekolah yang dimiliki Muhammadiyah melebihi jumlah sekolah yang dimiliki pemerintah.
Baik dari tingkat dasar, menengah, hingga sampai tingkat perguruan tinggi.
Memang pada kenyataannya saat ini K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah
bukanlah ikon penting bagi pendidikan Indonesia. Bukan berarti harus menjadikan
tanggal lahir beliau sebagai hari pendidikan tapi lebih pada menjadikan
pikiran-pikiran K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah sebagai rujukan dalam
membangun pendidikan di Indonesia. Karena kontribusi beliau bagi perkembangan
pendidikan di Indonesia sangatlah nyata dan dapat kita rasakan bersama.
Hal ini tidak lain karena Ahmad Dahlan rahimahullah
adalah seorang “Kyai”, seorang aktivis pendidikan yang kental dengan
nilai-nilai ke-Islamannya. Saat mendirikan lembaga pendidikan pun niat utama
beliau (insya Allah) adalah berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah yang
lurus dan benar. Tanpa semangat dakwah ini mustahil beliau rela kehilangan
kekayaannya untuk mendirikan sekolah-sekolah sampai daerah-daerah terpencil.
Semangat dakwah adalah semangat Islam. Sehingga dalam setiap
jenjang pendidikan yang beliau dirikan tidak pernah beliau lupa menyisipkan
nilai-nilai keagamaan (Islam) yang saat itu sangat tabu diajarkan di sekolah
umum. Sekolah pertama yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan bersama
murid-muridnya adalah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islam. Pada perkembangannya dikenal
juga sekolah-sekolah Hollands
Inlandse School (HIS) met de Qur’an (SD Al-Qur’an), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
met de Qur’an (SMP Al-Qur’an), Qismul Arqa’, Suranatan siang dan sebagainya
sebagai usaha dakwah K.H.A. Dahlan rahimahullah melalui bidang
pendidikan. Sekolah-sekolah tersebut semuanya memadukan antara sekolah umum
model Belanda dan sekolah Islam model pesantren.
Karena itulah K.H.A. Dahlan rahimahullah akhirnya
dianggap sebagai tokoh yang “sektarian” dan bukan tokoh nasionalis. Inilah yang
menjadikan K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah tidak lebih berpengaruh
dibandingkan dengan KHD. Mungkin banyak orang lupa bahwa sebagian besar rakyat
Indonesia adalah muslim. Saat K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah hidup umat
Islam secara statistik konon melewati angka 90 persen dari seluruh penduduk Indonesia
(Hindia – Belanda). Sehingga jika K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah saat berjuang
untuk umat Islam otomatis beliau telah berjuang untuk lebih dari 90 persen
rakyat Indonesia.
Apa yang dirintis oleh K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah
ini sesungguhnya manfaatnya telah dirasakan oleh lebih banyak rakyat Indonesia
dibandingkan dengan apa yang dilakukan KHD. Perbandingan paling kasat mata
dapat dilihat dari jumlah sekolah di bawah perguruan Muhammadiyah dengan jumlah
sekolah dibawah naungan perguruan Tamansiswa. Perbedaan yang sungguh mencolok.
Sebuah Renungan
Diakui atau tidak apa yang telah dirintis dan ditinggalkan
K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah utamanya berupa lembaga pendidikan akhir-akhir
ini telah dikelola secara menyimpang dari semangat beliau. Kalau dulu lembaga
pendidikan Muhammadiyah didirikan untuk membantu rakyat kecil yang tidak bisa
memasuki lembaga pendidikan pemerintah maka saat ini beberapa (semoga hanya
sebagian kecil) lembaga pendidikan Muhammadiyah justru sulit bahkan mustahil
untuk dimasuki golongan menengah ke bawah dan cenderung menjadi “ladang bisnis”
bagi elit-elit lembaga tersebut. Mungkin mereka lupa bahwa K.H. Ahmad Dahlan rahimahullah
pernah berwasiat, “Aku titipkan Muhammadiyah kepadamu. Hidup-hidupilah
Muhammadiyah. Jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”
Tidak ada komentar: